Tuesday, December 13, 2016

Materi Budaya Alam Minangkabau kelas VI SD



KELAS VI (ENAM) SEKOLAH DASAR
CATURWULAN I (SATU)

1.1  Susunan Kekerabatan Di Minangkabau
1.1.1        Sistem Kekerabatan Di Minagkabau
a.        Sistem kekerabatan minangkabau
Dari seluruh suku bangsa yang ada, suku minangkabau memang mempunyai system kekerabatan yang berbeda dan unik, dan sangat langka. System kekerabatan di Minangkabau disebut dengan system kekerabatan matrilineal atau maatriakat. Dalam system matrilineal kekerabatan di susun berdasarkan garis keturunan ibu. System kekrabatan matrilineal ditemukan di daerah Malagasi, di Madagaskar. Daerah ini terletak di sebuah pulau, disebelah timur benua Afrika. Selain itu di negara bagian Malaiysia, yaitu negeri Sembilan, Sejumlah ahli mengatakan, Bahwa daerah-daerah ini merupakan bagian dari daearah rantau orang minangkabau.
Berikut ini adalah gambaran dari system kekerabatan minangkabau yang berdasarkan matrilineal tersebut.
1)   Apabila seorang ibu mempunyai suku piliang, maka anak yang dilahirkanya juga akan bersuku piliang, inilah yang disebut anak bersuku ibu.
2)   Harta pusaka minangkabau menjadi milik kaum ibu, hal ini sebagai jaminan keselamatan hidup kaum ibu, karena menurut kodrat alam, kaum ibu bertulang lemah.
3)   Wanita tertua dalam sebuah kaum diberi julukan “limpapeh” wanita tertua itu disebut juga “ambun paruik”. Abun paruik atau atau limpapeh adalah wanita yang menguasai semua harta pusaka milik kaum. Yang dimaksud dengan harta pusaka disini adalah semua pusaka harta dan pusaka gaib. Misalnyaa, pakaian adat laki-laki dan perempuan, lengkap dengan perhiasan serta tanda kebesaran adat kaumnya. Hasil harta pusaka ini diatur pembagianya oleh limpapeh diantara anggota
4)    perempuan dalam kaumnya. Oleh sebab itu, limpapeh merupakan lambing kekuasaan ibu. Kekuasaan ke dalam (intern) dari sebuah kaum.
5)   Laki-laki tertua dalam sebuah kaum disebut “Tungganai”. Tugasnya sebagai “Mamak Kapalo Warih”, mamak kapalo warih mempunyai kekuasaan ke luar (ekstern) serta memelihara harta benda milik kaum.
6)   Baik pusaka kaum maupun pusaka gelar, diwariskan oleh niniak kepada mamak, dan mamak kepada kemenakan, jadi tetap diwarisi oleh kaum yang bersangkutan.
7)   Laki-laki dan perempuan dalam satu keturunan menurut garis ibu, dikatakan “sapasukuan” atau satu suku, orang yang sapasukuan tidak boleh menikah. Kepada yang melanggar ketentuan adat tersebut akan dijatuhi hukuman adat. Hukuman adat tersebut diantaranya, dikeluarkan dari suku atau dibuang dari kaum.
8)   Dengan berlakunya system keturunan menurut garis keturunan ibu, kedudukan anak perempuan dalam suatu keluarga menjadi sangat istimewa.

b.        Sumber Sistem Kekerabatan Minangkabau.
Sistem kekerabatan matrilineal bersumber dari filsafat adat Minangkabau, Alam takambang jadi guru. Dasarnya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Maksudnya, segala sesuatu yang terjadi di alam, merupakan petunjuk diberika Allah SWT untuk makhluk yang berakal. Oleh karena itu, prilaku alam dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan sikap pada kehidupan sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan ajaran syarak (islam). Menurut syarak. Ayat-ayat Allah SWT tidak hanya meliputi apa yang tertulis di Al- Qur’an, tetapi juga hikmah yang di balik itu, diantaranya alam takambang. Untuk inilah manusia diberi akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah manusia dapat mengembangkan yang terkandung dalam ayat-ayat Allah SWT. Itulah sebabnya, siapa yang paling mampu mengembangkan akal dan pikiranya, dialah yang paling berhasil dalam hidupnya. Inilah yang mendorong orang minangkabau berguru kepada islam.
Sistem kekerabatan Minangkabau adalah salah satu contoh dari hasil belajar dari alam. Sistem ini berasal dari  petunjuk Allah lewat pergaulan hidup alam binatang. Salah satu binatangnya adalah ayam kampung. Ayam kampung adalah hewan peliharaan, sehingga ia sangat dekat dengan kehidupan manusia. Oleh karena ayam lebih banyak berada dan bermain di pekarangan rumah pemiliknya, kehidupan ayam menjadi renungan dan kajian, yang akhirnya menjadi dasar nenek moyang minangkabau dalam menetapkan sistem kekerabatanya.
Apabila kita perhatikan kehidupan ayam dengan sungguh-sungguh, banyak pelajaran yang dapat kita petik untuk diteladani.  Anak ayam misalnya, anak ayam selalu mengikuti induknya. Karena  induknyalah yang memiliki naluri keibuan. Artinya secara naluriah, induk ayamlah yang merasa paling bertanggung jawab untuk mencarikan, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Perhatikan lagi tabiat ayam dalam mencari makanan. Dalam mencari makan mereka tidak hanya menunggu tetapi mereka mengais tanah dan bepergian ke tempat yang mungkin ada makanan. Untuk mendapatkan  sesuatu mereka berusaha terlebih dahulu. Ini sesuai dengan kata-kata adat Minangkabau, “ Nak Kayo Kuek Mancari”
Dalam soal kasih sayang, induk ayam tidak membeda-bedakan kasih sayang kepada anak-anaknya. Baik anak yang jantan atau betina. Yang gagah ataupun yang jelek. Dalam mengerami telur, induk ayam tidak membedakan telur ia sendiri atau telur orang lain. Telur ayam atau telur itik. Bila anak itik itu lahir, induk ayam tetap menyayanginya, sama seperti kepada anak kandungnya sendiri. Ia pun tidak iri meskipun anak itik itu kemudian mampu berenang. Setelah itik itu besar, induk ayam juga merelakan si itik untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tanpa sedikitpun mengharapkan balas jasa.
Naluri keibuan tidak hanya terdapat pada ayam. Pada hewan lain juga demikian. Berdasarkan itu semua. Orang minangkabau berkesimpulan, bahwa secara alamiah. Ikatan batin makhluk hidup lebih dekat kepada induknya atau ibunya disbanding kepada bapaknya.
Pertimbangan lain, dengan sistem kekrabatan yang didasarkan pada garis keturunan ibu, diharapkan agar urusan kekerabatan tidak menjadi salah urus, baik terhadap anak, maupun terhadap kebendaan yang memenuhi hajat hidupnya. Sekiranya anak-anak diserahkan pengurusannya kepada ayahnya, dikhawatirkan kehidupana si anak tidak terurus. Karean si ayah waktunya habis untuk mencari nafakah atau bekerja. Begitu pula harta benda bila diserahkan pengurusanya kepada pihak laki-laki, dikhawatirkan harta itu tidak terpelihara dengan baik bahkan mungkin akan habis terjual, apalagi bila si laki-laki itu memiliki istri lebih dari satu.
Selain dari itu, tidak diberikanya warisan harta benda kepada pihak laki-laki. Secara kodratynya, laki-laki memiliki tubuh yang kuat. Laki-laki punya kemampuan untuk berusaha atau mencari, sedangkan wanita mempunyai bfisik yang lemah, tidak mampu berusaha seperti laki-laki. Laki-laki juga suka bepergian.
Seorang laki-laki tidak boleh hanya menerima tanggung jawab untuk mengelola tanah, sawah, dan barang-barang lainya, sehingga bisa mnedatangkan penghasilan. Inilah tanggungjawab laki-laki di minangkabau.ia berperan sebagai pengelola harta benda untuk memperkuat ekonomi kaumnya. Di samping bekerja untuk kesejahteraan anak-anaknya sendiri, sesuai dengan ungkapan adat anak dipangku, kemenakan dibimbing.
c.         Contoh sistem kekerabatan Minangkabau
Sigoto (2004: 6) Menyebutkan sistem kekerabatan di minangkabau sebagai berikut :
1)      Kekerabatan karena bertali darah
Pada umumnya setiap ornag minangkabau hidup berdasarkan kelompok sukunya. Awalnya di minangkabau, menurut tambo sejarah hanya ada empat suku yang diciptakan oleh dua orang datuk, yaitu datuk katumanggungan dengan suku koto piliang yang berasal dari kata pilihan, dan datuk parpatiah nan sabatang dengan suku bodi caniago, berasal dari kata  budi nan baharago.
Yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal adalah kaum atau paruik, pecahan dari kaum/paruik adalah jurai, pecahan jurai adalah samandel seibu yang terdiri dari nenek, ibu, dan anak-anaknya.
Setiap suku terdiri dari beberapa paruik dipilih seseorang yang berwibawa untuk jadi pimpinan paruik. Ada kalangan saparuik yang disebut juga sekaum. Ikatan batin anggota sekaum di minangkabau sangatlah besar, ini disebabkan karena:
a)      Orang sekaum seketurunan
b)      Orang sekaum sehina-semalu.
c)      Orang sekaum sedancing bak basi, saciok bak ayam, tibo di kaba baiak baimbauan, tibo dikaba buruak dihambauan.
d)     Orang sekaum sapandam sapasukuan.
e)      Orang sekaum saharato sa pasukuan.

2)      Kekerabatan bukan bertali darah/perkawinan.
Menurut  Sigoto (2004: 7) tali kekerabatan itu adalah sebagai berikut :
a)      Hubungan kekerabatan induak bako dan anak pisang.
Hubungan kekerabatan induak bako adalah sebagai berikut : anak saudara perempuan dari pihak ayah atau kemenakan ayah adalah induak bako bagi anak-anak ayah/bapak. Hubungan kekerabatan anak pisang adalah sebagai berikut : anak-anak ayah/ bapak adalah anak pisang bagi kemenakan ayah/bapak.
Azrial (2008: 10) menyatakan bahwa Hubungan kekerabatan induak bako dan anak pisang adalah hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya. Atau sebaliknya, hubungan antara seorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya.
Seorang perempuan di minangkabau adalah induak bako dari anak saudara laki-lakinya. Sebaliknya, anak dari saudara laki-laki seorang perempuan adalah anak pisang dari perempuan tersebut.sedangkan ibu dari seorang perempuan tersebut atau ibu dari bako disebut induak bako.
Dengan demikian, seorang perempuan diminangkabau bisa sekaligus berfungsi sebagai kemenakan bagi saudara laki-laki ibunya, dan menjadi anak bako dari anak saudara laki-laki ibunya.dan bakonya. Jadi, seorang wanita
Biasanya, anak perempuan di minangkabau, disamping diasuh oleh ibunya, ia juga di asuh oleh induak bako dan baakonya. Jadi, seorang wanita bisa mendapatkan pendidikan dari dua buah rumah gadang, rumah gadang ibunya dan rumah gadang bapaknya.
b)      Kekrabatan ipar-bisan
Hubungan kekerabatan ipar adalah hubungan antara ayah/bapak dengan saudara laki-laki dari pihak ibu. Hubungan kekerabatan bisan adalah hubungan antara ayah/bapak dengan saudara perempuan dari pihak ibu. Demikian juga sebaliknya, saudara ayah/bapak yang laki-laki merupakan ipar bagi ibu dan saudara ayah/bapak yang merupakan bisan bagi ibu.
c)      Kekrabatan sumando- mamak rumah- pasumandan
Kekrabatan sumando adalah hubungan antara seluruh keluarga pihak perempuan dengan suami. Dengan kata lain ayah/bapak di rumah ibu merupakan urang sumando. Sedangkan saudara laki-laki ibu merupaka mamak rumah bagi ayah/bapak. Hubungan pasumandan adalah hubungan pihak perempuan/ibu pihak keluarga ayah/bapak di rumah keluarga ayah/bapak.
d)     Kekerabatan minantu-mintuo
Hubungan kekerabatan minatu  adalah hubungan orang tua pihak ibu terhadap suaminya atau dengan kata lain, ayah/bapak kita/kamu adalah menantu orang tua ibu, sebaliknya ibu juga menantu bagi orang tua ayah/bapak. Kekerabatan mintuo adalah hubungan antara ayah/bapak kepada orang tua ibu, sebaliknya ibu dengan orang tua ayah/bapak. Dengan kata lain mintuo adalah orang tua kedua belah pihak dari ayah dan ibu.
d.        Membandingkan sistem kekrabatan Minangkabau dengan budaya lain
Jika dibandingkan dengan suku-suku lain di negeri ini, budaya adat minangkabau jelas tiada duanya. Secara umum, budaya, dan adat daerah luar minagkabau menganut/mewarisi sistem kekeluargaan patrilineal, dimana suku diambil dari garis keturunan bapak. Contohnya adalah saudara-saudara kita yang dari daerah tapanuli.

1.1.2   Sistem Perkawinan
a.         Sistem Perkawinan Di Minangkabau
Tentang jodoh sebagai pendamping hidup kita, apapun yang kita lakukan atau usahakan kalau tidak izin allah tidak akan terjadi. Azrial (2008: 12) menyatakan bahwa perkawinan menurut adat minangkabau adalah persoalan kaum kerabat. Mulai mencari pasangan membuat persetujuan, pertunangan, dan acara perkawinan. Menurut adat minangkabau, jika lelaki dan perempuan ingin melaksanakn perkawinan untuk membentuk suatu keluarga baru maka segala urusan menurut adat Minangkabau menjadi urusan dan tanggung jawab bersama kedua belah pihak keluarga.
b.         Upacara Perkawinan Di Minangkabau
Bagi orang minagkabau peristiwa perkawinan merupakan suatu hal yang akan menghubungkan tali kekerabatan antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Proses perkawinan tersebut selalu dilaksanakan terlebih dahulu oleh pihak keluarga, terutama pihak keluarga perempuan. Awalnya mereka akan memilih orang kepercayaan yang akan dijadikan utusan dalam meminang, menentukan hari dan sebagainya.
Menurut Sigoto (2004.: 15)  proses meminang secara umum ada tujuh tahap, yaitu sebagai berikut:
1)      Manapiak bandua
Proses manapiak bandua ini dilaksanakan dengan mengutus orang kepercayaan keluarga pihak perempuan, untuk menyampaikan meksud keluarga pihak perempuan kepada pihak laki-laki, proses manapiak bandua ini awalnya hanya berlangsung antara orang tua (ibu, bapak) pihak perempuan dan pihak laki-laki. Utusan pihak perempuan datang dengan membawa sirih lengkap, dalam pertemuan ini pihak keluarga laki-laki akan menangguhkan dulu beberapa hari untuk memeberikan jawaban, karena mereka akan merundingkannya terlebih dahulu dengan seluruh kaum kerabat pihak laki-laki dan keluarga pihak laki-laki.
Untuk manapiak bandua ini biasanya utusan terdiri dari satu atau dua orang perempuan dan satu orang laki-laki (orang dewasa yang telah menikah) dari sumando dan bisan keluarga perempuan.
2)      Maminang
Jika kesepakan dari pihak kaum kerabat laki-laki telah ada maka dilakukanlah proses meminang. Orang kepercayaan pihak perempuan ditambah dengan salah seorang mamaknya datang meminang ke kaum kerabat pihak laki-laki. Hal ini sesuai dengan pepatah adat kawin jo niniak mamak nikah jo parampuan.
Umumnya pada saat maminang ini belum ditentukan jawaban, karena pihak laki-laki harus merundingkanya lagi, dan jawaban akan disampaikan lewat utusan pihak laki-laki.
3)      Batimbang tando jo bainai
Jika kesepakan kaum laki-laki telah tercapai maka akan disampaikan oleh orang kepercayaan kaum laki-laki kepada pihak perempuan. Proses selanjutnya dalah melaksanakan batimbang tando,  acara ini dapat kita samakan dengan ikatan pertunangan,  diamana kaum kerabat pihak perempuan datang bersama-sama kerumah kaum kerabat pihak laki-laki, dengan membawa siriah pinang batimbang tando,  dilengkapi dengan benda sebagai pertanda yang berupa sebentuk cincin emas, kain tenun lapak, atau keris.
Pada saat acara batimbang tando ini, kedua belah pihak keluarganya akan menentukan hari baik dan bulan baik untuk melaksanakan pesta pernikahan, dan syrat-syarat lainya yang harus dipenuhi, serta bentuk pelaksanaan pesta perhelatan yang akan dihadapi bersama.
Setelah acara batimbang tando selesai biasanya pihak calon marapulai jo anak daro akan melakukan pembuatan inai (bainai) di kuku jari tangan dan kai, sebagai pertanda kepada sanak saudara dan teman-temanya bahwa mereka telah bertunangan. Acara bainai dilakukan malam hari di rumah calon anak daro yang dihadiri keluarga kedua belah pihak.  Masa pertunangan ini tidak boleh terlalu lama waktunya, hal ini sesuai dengan pepatah adat karajo baik indak elok dipalalaikan, kok malang ditimpo dek nan buruak.
Andaikata pertunangan putus, pihak yang memutuskan akan mengembalikan tanda yang telah diterima sebelumnya. Pihak lain tidak berkewajiban mengembalikanya. Setelah pertunangan berjalan beberapa lama barulah dimulai perundingan untuk acara pernikahan.
4)      Manikahkan
Proses manikahkan, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak keluarga perempuan dan laki-laki, tanggal dan hari pelaksanaaya, dilakukan di rumah pihak perempuan. Pernikahan dipimpin/dilaksanakan oleh pejabat Kantor Urusan Agama (KUA).
Sebenarnya setelah dinikahkan oleh pejabat KUA yang dihadiri oleh kedua belah keluarga, mereka telah resmi sebagai pasangan suami istri, namun karena proses manjapuik marapulai belum dilaksanakan maka pihak laki-laki belum boleh tinggal serumah dengan pihak perempuan. Pada acara pernikahan ini terjadi peristiwa ijab Kabul yang diiringi dengan pemberian mahar kepada pihak perempuan oleh pihak laki-laki. Mahar ini dapat berupa emas atau seperangkat alat shalat dan alquran.
5)      Manjapuik marapulai
Acara manjapuik marapulai dilakukan pada saat pesta perhelatan. Anak daro jo pangiriangnyo datang ketempat pesta pernikahan laki-laki, salah seorang pangiriang anak daro yang dituakan (laki-laki) mohon izin kepada keluarga beserta mamak marapulai untuk manjapuik tabao sang marapulai ke rumah anak daro. Biasanya di rumah marapulai, anak daro atas permintaan bersama juga dipersandingkan sebentar baru dilepas untuk dibawa kerumah anak daro.
6)      Mempersandingkan anak daro
Setelah marapulai dijapuik oleh anak daro, selanjutnya mereka dipasandiangkan di rumah anak daro, mereka akan menerima ucapan selamat berumah tangga dari tamu-tamu yang di undang. Dalam mempersandingkan anak daro, Biasanya juga dilakukan upacara penjamuan. Upacara penjamuan merupakan puncak dari perhelatan. Besar kecilnya perhelatan tergantung pada kondisi ekonomi keluarga si perempuan.
7)      Manjalang mintuo
Selesai pesta pernikahan, kegiatan anak daro jo marapulai adalah saling melakukan kunjungan ke rumah dunsanak anak daro dan marapulai. Acra ini disebut manjalang mintuo, yang dilaksanakan setelah empat atau lima hari usai pesta perhelatan. Pada umumnya yang dibawa sebagai buah tanga dari anak daro jo marapulai adalah kue dan nasi kunyiek (ketan berwarna kuning), sebaliknya mintuo yang dijalang akan memberikan buah tangan berupa bahan pakaian, uang, atau emas sebagai bekal untuk membantu anak daro jo marapulai dalam mengarungi bahtera hidup baru.
c.          Syarat Syah Perkawinan Menurut Adat Minangkabau
Menurut Sigoto (2004: 13) ada beberapa syarat syah perkawinan adat menurut adat Minangkabau yaitu sebagai berikut:
1)      Adat kita orang minangkabau ialah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Maka untuk sahnya perkawinan, kita menempuh dua cara, yaitu menurut agama dengan melakukan akad nikah secara islam di hadapan penghulu/wali hakim dari pejabat KUA disaksikan oleh kedua belah pihak anggota keluarga.
2)      Selanjutnya kita melaksanakan secara adat. Menurut adat minagkabau, pihak laki-laki/marapulai harus dijemput pihak perempuan/ anak daro, karena menurut adat kita pihak laki-laki akan tinggal di rumah perempuan maka di dalam adat dikatakan :
Sigai mancari anau
Anau tatap sigai tingga
Datang dek bajapuik
Pai iyo dek baanta
Bak ayam putiah tabang siang
Basuluah mato ari    
Bagalanggang mato rang banyak.
Maksudnya walaupun akad nikah menurut agama suddah dilakukan. Suami baru boleh pulang ke rumah istrinya jika telah dijemput pihak kelurga istrinya dan diantar keluarga suami. Di Minangkabau, secara lahiriah yang punya rumah adalah kaum wanita/ibu. Sedangkan kaum laki-laki tempatnya adalah di surau kaumnya. Aturan pihak laki-laki untuk tinggal di rumah kaum istrinya sampai sekarang masih berlaku hal inilah yang dimaksud Sigai mancari anau, Anau tatap sigai tingga, Datang dek bajapuik, Pai iyo dek baanta, Bak ayam putiah tabang siang, Basuluah mato ari, Bagalanggang mato rang banyak. Maksudnya adalah pemberitahuan kepada orang banya/orang kampung, bahwa marapulai dan anak daro sudah menikah. Pemberitahuan ini dilakukan dengan cara mengundang orang-orang di kampung untuk datang baralek.
3)      Selanjutnya pihak perempuan juga wajib mengunjungi rumah orang tua laki-laki (suaminya). Acara ini disebut manjalang mintuo. Jika tiga hal tersebut diatas telah dilaksanakan maka resmilah menurut adat dan agama perkawinan tersebut.

d.         Contoh Sistem Perkawinan Minangkabau
Menurut alam pikiran Minangkabau, perkawinan yang paling ideal ialah perkawinan antara keluarga terdekat, seperti perkawinan antara anak dengan kemenakan. Perkawinan ini sering disebut “pulang ka mamak” atau “pulang ka bako”. Pulang ka mamak artinya mengawini anak mamak (anak adik atau anak kaka laki-laki dari ibu). Pulang ka bako, artinya mengawini kemenakan ayah (anak dari saudara perempuan ayah).
Perkawinan terbaik berikutnya adalah kawin sekorong, sekampung, senagari, seluhak, dan akhirnya sesama orang minangkabau. Perkawinana dengan orang luar minangkabau kurang disukai, namun tidak dilarang. Perkawinan dengan orang luar minangkabau, terutama mengawani wanita luar, dianggap bisa merusak struktur adat, karena nak yang lahir dari perkawinan ini tidak mempunyai suku. Orang luar minangkabau menganut  sistem patrialkad, si anak ikut suku ayah. Sedangkan di Minangkabau, si anak menurut suku ibu, akhirnya, anak yang lahir dari perkawinan wanita bukan dari minangkabau. Sedangkan ayah dari minangkabau, tidak mempunyai suku.
Bila wanita minangkabau kawin dengan orang luar minangkabau, tidak merusak struktur adat, karena anak tetap mempunyai suku minangkabau. Hanya saja, anak dari hasil perkawinan ini bisa kehilangan hak. Hak yang hilang adalah hak untuk mewarisi gelar pusaka. Gelar pusaka di Minangkabau hanya berhak disandang oleh keturunan minanngkabau asli. Artinya, jika si anak yang lahir adalah laki-laki, maka anak ini tidak berhak untuk diangkat menjadi seorang penghulu, karena bapaknya bukan orang minagkabau. Berarti, anak ini bukan orang minangkabau asli.
e.          Nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan
Menurut Sigoto (2004: 18) ada beberapa nilai yang terkandung dalam perkawinan yaitu sebagai berikut :
1)      Nilai yang terkandung dalam islam adalah jika telah dewasa dan punya kemampuan, segeralah berumah tangga karena hal itu adalah ibadah kepada allah dan kewajiban menurut sunnah rasulullah Saw.
2)      Nilai yang terkandung menurut adat. Hal ini tercermin dari sikap orang minang, yang memandang “tabu” bagi seorang wanita atau gadis apabila gadang tak balaki
3)      Nilai sosial. Perkembangan/pertumbuhan masyarakat baru akan terjadi hubungan antara dua keluarga besar.
4)      Dari nilai moral. Sangat tercela dan merupakan aib bagi keluarga apabila dua orang berlawanan jenis bergaul intim tanpa adanya ikatan perkawinan.
Kalau kita lihat dari sudut sosial (kemasyarakatan), perkawinan tersebut pada intinya adalah mempertemukan dua keluarga besar yaitu keluarga pihak laki-laki dan lkeluarga pihak perempuan. Selanjutnya, terjadilah hubungan baipa babisan (ipar-bisan) yaitu hubungan antara adik/kakak dari pihak istri yang disebut ipar dan adik/kakak dari pihak suami tersebut.
Selanjutnya dari segi moral, seorang laki-laki telah punya istri, kita menyebutnya sebagai orang yang telah dewasa, umumnya mereka telah diberi gelar. Hal ini sesuai dengan pepatah adat kita, ketek banamo gadang bagala  dan dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat bagi orang yang telah menikah dianggap duduaklah samo randah kok tagaklah samo tinggi  dengan anggota masyarakat lainya.
Ada beberapa persyaratan lain yang harus dilakukan untuk memilih calon istri atau suami menurut agama dan adat, yaitu sebagai berikut:
1)      Kedua calon mempelai harus beragama islam
2)      Kedua calon mempelai tidak sedarah atau sepesukuan
3)      Kedua calon mempelai dapat saling menghormati/menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
4)      Calon suami telah mempunyai pekerjaan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
1.1.3    Fungsi dan Peran Urang Sumando
a.      Peranan urang sumando di ranah minang
Seorang suami jika masih tinggal atau menetap di rumah istri maka oleh keluarga istrinya ia dianggap sebagai seorang tamu yang di hormati atau disegani. Dia hadir di rumah keluarga istrinya karena tali perkawinan, namun sebagai seorang sumando dia tidak termasuk anggota keluarga pihak istrinya. Dengan kata lain kedudukannya seperti pepatah minangkabau: sasalam-dalam aia sahinggo dado itiak, saelok-elok sumando sahinggo pntu biliak.
Maksud dari pepatah tersebut, kewenangan sumando di rumah istrinya hannya sebatas pintu biliak atau kamar istrinya, serta sebagai kepala keluarga anak-anak dan istrinya. Pepatah lain mengatakan, namun pepatah ini buat zaman sekarang sudah tidak lazim di sebut orang. Karena pada umumnya begitu mereka terikat perkawianan, mereka sudah tidak tingal lagi dengan orang tua atau keluarga istrinya. Saat ini peran ayah atau bapak selaku sumando sangalah besar dan berat, demi kelangsungan hidup keluarga dan pendidikan anak-anaknya serta memikirkan kemenakannya, ingat pepatah adat kita yang mengatakan: anak dipangku kemenakan di bimbing.
b.      Jenis Sumando di Minangkabau
Orang minangkabau dalam kehidupan sehari-hari selalu mengambil contoh pada kehidupan di alam ini temasuk pola kehidupan manusia. Pepatah minangakabau mengatakan ambiak contoh ka nan sudah, ambiak tuah ka anan manang.
            Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang lintabuang
Silodang ambiak ka nyiru
Satitiak jadi lauik
Nan sakapa jadikan gunung
Alam takambang jadikan guru
            Dari pepatah adat tadi kita menyimpulkan bahwa tingkah laku manusia, perubahan alam serta pertumbuhan flora dan fauna menjadi perhatian dan ispirasi orang Minangkabau. Sehingga tingkah laku dan perbuatan manusia dikiaskan kepada hal-hal yang bersifat alam (flora dan fauna).
Ada enam kategori sumando di minangkabau, yaitu sebagai berikut:
1)      Sumando ayam gadang atau sumando buruang puyuah.
Maksudnya, sumando yang hanya pandai beranak, tapi tanggung jawab terhadap istri dan anaknya tidak ada.
2)      Sumando langau hijau
Maksudnya, sumando berpenempilan gagah tapi kelakuannya kurang baik, suka kawin cerai, dan meninggalkan anak-anaknya tanpa tanggung jawab.
3)      Sumando kacang miang
Maksudnya, urang sumando yang tingkah lakunya hanya membuat orang susah, suka memfitnah, mengadu domba, dan memecah belah kaum keluarga istri.
4)      Sumando lapiak buruak
Maksudnya, urang sumando yang tidak menjadi perhitungan bagi keluarga istrinya, kalau tidak alang kepalang perlu tidak akan dipergunakan, seperi tikar pandan yang lusuah di rumah istrinya.
5)      Sumando kutu dapua
Maksudnya, urang sumando yang banyak bekerja di rumah dari pada diluar, dimana kerjanya seperti memasak, mencuci piring, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaannya sudah seperti kaum perempuan.
6)      Sumando niniak mamak
Sumando yang jadi suri tauladan dan sangat diharapkan semua orang, tutur kata dan budi bahasanya sangat baik, serta suka membantu kaum keluarga istrinya dan kaum keluarganya sendiri.

Namun saat ini telah lahir pula jenis sumando yang baru, yaitu sumando gadang malendo, maksudnya orang sumando karena usahanya berhasil, dia dipandang orang, baik karena jabatan atau kekayaannya. Tetapi tanpa malu-malu telah mengangkat dirinya sendiri sebagai kepada kaum di rumah kaum istrinya, dia telah berperan sebagai penentu pada kaum istrinya.

1.1.4    Hubuangan Mamak dan Kamanakan
a.      Funsi atau peran mamak di minangkabau
Hubungan mamak dan kemenakan bukanlah hubungan sekedar panggilan terhadap saudara laki-laki ibu, tapi mamak mengandung pengertian sebagai pemimpin, pelindung, dan pengayom dalam kehidupan kemenakannya serta masyarakat minangkabau. Pada masa dahulu peranan atau fungsi mamak sangatlah berat, seorang mamak harus bertanggung jawab sepenuhnya atas kepentingan kemenakan dan kaumnya., ditambah tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Sesuai kata pepatah kita Minangkabau, baban barek, singguluang batu.
Fungsi mamak tidak hanya sebatas memelihara anak kemenakannya, baik kemenakan yang laki-laki dan perempuan, tetapi sebagai seorang pemimpin juga harus menjaga kampong dan nagari, serta adat istiadat yang telah digariskan oleh nenek moyang.
b.      Fungsi kemenakan di Minangkabau
Kamanakan laki-laki sebagai calon pemimpin dan penerima waris sako jo pusako, atau penerima pusako batolon.g, ako turun temurun, sebagai calon pemimpin kepada kemenekan oleh mamak diturunkan dasar-dasar kepemimpinan yang adil, bijaksana dan mampu mengarifi keadaan lingkungan, serta bertanggung jawab, maka kemenakan punya kewajiban menuntut ilmu pengetahuan dunia akhirat. Tidak jarang dalam mencari ilmu pengetahuan kemenakan laki-laki harus meninggalkan kampong halamannya.
Kemenakan perempuan, sebagai penerus garis keturunan, panarimo warih bajawek kajadi limpapeh rumah nan gadang dan sebagai ibu bundo kanduang amban puruak pumpunan jalo pegangan kunci biliak dalam juga berkewajiban untuk menuntut ilmu pengetahuan, namun dalam menuntut ilmu pengetahuan pada umumnya jarang yang pergi merantau jauh.
Seorang mamak harus selalu mengawasinya, seperti kata-kata adat, kok siang maliek-like, manguruang patang mangaluakan pagi. Artinya siang hari dilihat, malam diawasi, jelas waktu dan kemana perginya, dengan maksud tidak lepas dari pengawasan mamaknya. Selanjutnya kemenakan dalam batas yang telah digariskan dalam adat minangkabau harus patuh pada mamaknya:
Kok dihimbau lakeh datang
Disuruah lakeh pai
Pai tampek batanyo
Pulang tampek babarito
      Maksudnya, jika mamak yang menyuruh atau memanggil kemenakan harus cepat-cepat melaksanakan, dan kalau ingin berpergian atau mengerjakan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama kepada mamaklah tempat kemenakan bertanya dan memberitahu kalau kita sudah kembali dengan pekerjaan tersebut. Satu hal lagi kewajiban kemenakan yang pada era sekarang mungkain sudah terlupakan yaitu, kemenakan harus menolong mamaknya jika mamaknya dalam kesukaran; dan kalau makak dihina orang, maka kemenakanlah yang menuntut balas.
c.       Tali kekerabatan mamak dan kemenakan di Minangkabau
Ada empat macam tali kekerabatan mamak dan kemenakan, yaitu sebagai berikut:
1)      Kemenakan batali darah, artinya semua anak-anak saudara perempuan pihak laki-laki menurut garis keturunan ibu.
2)      Kemenakan batali adat, artinya orang lain yang datang barmamak kepada seorang datuk penghulu kaum. Dengan mengisi adat jo limbago, namun statusnya tidak sasako dan pusako atau tidak dapat mewarisi sako jo pusako. Suku orang yang datang bermamak ini sama dengan suku kaum yang menerima. Dalam hal ini pepatah mengatakan hinggok mancakam, tabang basitumpu. Sako yang dipakai adalah sako asal kampuangnyo.
3)      Kemenakan batali buek, artinya seseorang yang diangkat atas kesepakatan datuk penghulu kaum, bersama dengan anggota kaumnya. Seseorang diangkat menjadi kemenakan karena orang ini memiliki tingkah laku dan budi pekerti yang jujur tetapi berasal dari kampong atau nagari yang berbeda walaupun sukunya sama dengan kaum datuk tersebut. Orang ini juga mengisi adat dengan limbago. Status menurut adat adalah tidak dapat mewarisi sako jo pusako.
4)      Kemenakan batali ameh, artinya orang yang diangkat jadi kemenakan dalam satu pesukuan, tapi pendatang ini tidak sama sukunya dengan suku yang diikuti. Orang ini dinamakan mengisi adat dan mengisi limbago dan statusnya tidak sama dalam kaum penghulu tersebut. Juga tidak dapat mewarisi sako jo pusako.

CATURWULAN II (DUA)

1.1  Harta Pusaka Menurut Adat Minangkabau
1.1.1        Sistem Pemilikan Harta
Secara umum, pemilikan harta di Minangkabau bersifat kelompok, dimiliki secara bersama-sama oleh satu kaum. Pemilikan harta ini diatur dan dipimpin oleh penghulu kaum yang bersangkutan.
      Pembagian harta di Minangkabau seperti telah disebutkan di atas bahwa sistem pemilikan harta di ranah Minangkabau bersifat kelompok, yang dimiliki secara bersama-sama di bawah pimpinan penghulu kaum suku masing-masing.
Di Minangkabau sistem pemilikan harta terbagi atas empat macam, yaitu :
1)      Harta Pusako
Artinya harta yang dimiliki dan diwarisi secara turun-temurun oleh satu kaum. Dari mamak turun ke kemanakan dan berlanjut terus dari generasi ke generasi orang yang sekaum bertali darah. Harta pusako ini tidak boleh dikurangi atau dijual, jika mampu kita sebagai penerima waris harus menambah. Harta pusako ini disebut juga harta pusako tinggi.
2)      Harta tambilang basi
Artinya harta yang di peroleh dari usaha sendiri, misalnya dengan cara manaruko pertanian baru (membuka lahan pertanian baru).
3)      Harta tambilang ameh
Artinya harta yang diperoleh seseorang dengan cara membeli.
4)      Harta hibah
Artinya harta yang diperoleh atas dasar pemberian. Harta hibah ini terbagi atas :
a)      Hibah laleh
Adalah pemberian seorang ayah pada anak-anaknya untuk selama-lamanya. Di dalam adat, pemberian ini dikatakan salamo dunia takambang salamo gagak hitam. Hibah ini dapat terjadi jika sepakat waris kaum bertali darah dan waris kaum bertali adat.
b)      Hibah bakeh
Adalah pemberian harta dari seorang ayah pada anak-anaknya yang sifatnya terbatas selama anak-anaknya hidup, tidak sampa ke cucunya. Di dalam adat, hibah ini dikatakan kabau mati kubangan tingga, pusako pulang ka nan punyo.
c)      Hibah pampeh
Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak-anaknya dengan cara ayah menggadaikan kepada anak-anaknya. Pada umumnya pegang gadai antara ayah dengan anaknya bersifat akal-akalan si ayah untuk membantu anak-anaknya. Pegang gadai ini biasanya dengan memakai emas, namun nilainya tidak masuk akal, sehingga kemenakan ayahnya akan keberatan untuk menebusnya.

1.1.2        Harta Pusaka Tinggi
Barakik-rakik ka hulu
Baranang-ranang ka tapian
Basugi timbakau jalo
Basaki-sakik dahulu
Basanang-sanang kamudian
Barugi mangko balabo
Artinya: perlu ada ketabahan dalam berusaha karena setiap kesenangan dan kebahagiaan perlu ada pengorbanan.
Setiap manusia selagi hidup pasti selalu bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adakalanya usaha-usaha tersebut berhasil dengan baik, namun tak jarang juga yang kurang berhasil. Bagi kita orang Minangkabau, hasil usaha/ kerja selalu diusahakan untuk disimpan sebagian sebagai cadangan, baik sebagai cadangan pada musim paceklik atau untuk pembeli bahan/barang yang diperlukan. Pepatah adat mengatakan: bakulimek sabalun abih, ingek-ingek sabalun kanai, maksudnya berhematlah dalam hidup, tidak boros dan mubazir agar jangan sampai kehabisan perbekalan.
      Seperti pantun di bawah ini:
Bapueh-pueh dek mamiliah
Bapayah-payah dek mangapua
                              Abih dayo badan talitak
                              Abih paham aka baranti
      Artinya: berusahalah dengan segala kemampuan dan tenaga untuk mencari bekal kehidupan. Hasilnya kita serahkan pada Yang Mahakuasa.
a.      Pengertian harta pusako tinggi
Yang dimaksud dengan harta pusako tinggi adalah harta yang telah diwarisi secara turun-temurun oleh sebuah kaum. Harta tersebut berupa tanah, sawah, tanah peladangan, rumah, dan sebagainya. Disamping harta pusako yang berbentuk seperti penjelasan diatas, di Minangkabau masih ada lagi harta pusako tinggi kaum yang tidak berwujud/berbentuk, yaitu gelar pusaka. Pusaka ini di sebut sako.
Asal usul harta pusako tinggi adalah hasil usaha dan kerja nenek moyang kaum tersebut dahulu yang dijadikan lahan pertanian, perumahan, dan persawahan.
  Jadi dapat disimpulkan harta pusako tinggi ini yang diwariskan secara turun-temurunberasal dari harta tambilang basi dan tambilang ameh nenek moyang orang Minangkabau.
b.      Hak dalam harta pusako tinggi
Orang Minangkabau menganut sistem garis keturunan diambil dari pihak ibu/perempuan. Maka yang berhak atas harta pusako tinggi adalah orang-orang yang segaris keturunan atau disebut juga orang yang sekaum seketurunan, dengan kata lain pusako tinggi menjadi hak bersama.
Kaum yang menerima waris pusako tinggi, secara bersama-sama punya kewajiban untuk menjaga, melestarikan, serta mengolah harta pusako tinggi yang diterima. Sedangkan kewenangan untuk mengatur penggunakan harta pusako tinggi dipegang oleh kaum wanita yang tertua. Untuk melindungi, memelihara, dan mengembangkan harta pusako tinggi ini di bawah wewenang mamak penghulu kaum, dengan alasan sebagai seorang mamak penghulu kaum, dia didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting oleh kaumnya. Di bawah pengawasan mamak penghulu kaum dan wanita tertua dalam kaum tersebut, diharapkan pusako tinggi bermanfaat untuk seluruh anggota kaum mereka. Karena menurut pituah adat Minangkabau harta pusako tinggi ini berarti kok tajua indak dimakan bali, gadai indak dimakan sando. Maksudnya, harta pusako tinggi bila terjual tidak bisa dibeli, digadaikan tidak bisa dijadikan sando karena harta pusako tinggi menjadi milik bersama.
Nenek moyang kita terkenal dengan sikap yang arif bijaksana. Dalam membuat undang-undang dan aturan, nenek moyang kita tidak kaku. Walaupun ada pituah adat yang melarang kita untuk menjual atau menggadaikan harta pusako, namun ada pengecualikannya. Harta pusako tinggi dapat juga dijual atau digadaikan jika terjadi empat penyebab, sehingga pihak kaum penerima waris “terpaksa” menjual atau menggadaikan harto pusako tinggi, yaitu apabila terjadi :
      Maik tabujua di tangah rumah
      Gadih gadang tak balaki
      Rumah gadang katirisan
      Mambangkik batang tarandam
Artinya : jika kaum penerima waris ditimpa musibah sedangkan jalan lain untuk mengatasi musibah itu tidak ada maka dengan kesepakatan seluruh anggota kaum diambillah keputusan apakah dijual atau cukup digadaikan saja.
c.       Fungsi harta pusako tinggi
                  Pada uraian terdahulu telah dibahas bahwa harta pusako tinggi yang diwarisi secara turun-temurun oleh sebuah kaum adalah harta tambilang basi dan tambilang ameh nenek moyang yang diwariskan pada generasi berikut dalam kaumnya. Maka fungsi harta pusako tinggi itu sebagai berikut.
1)      Merupakan tali persatuan dan kesatuan sebuah kaum yang bertali darah
2)      Mengingatkan semua orang akan hubungan budi yang luhur terhadap nenek moyangnya.
3)      Mampu memberikan contoh pada generasi berikutnya, untuk selalu memikirkan generasi-generasi yang akan datang.
4)      Sebagai lambang kedudukan sosial suatu kaum seperti kata pepatah:
      Dek ameh sagalo kameh
      Dek padi sagalo jadi
      Hilang rono dek panyakik
      Hilang bangso tak barameh
Artinya: jika suatu kaum sepesukuan memiliki harta pusaka, maka secara umum warga nagari atau kampung akan menilai kaum tersebut sebagai kaum yang berpunya dan di segani orang-orang sekampung atau nagari.
d.      Manfaat harta pusako tinggi
Harta pusako tinggi sangat besar manfaatnya bagi anggota kaum yang mewarisi. Pengelolaan/penggarapan yang telah diatur dan disepakati bersama, hasilnya dapat membantu kesejahteraan keluarga sekaum.

1.1.3        Harta Pusaka Rendah
a.      Pengertian harta pusako randah
Harta pusako randah adalah harta pencarian ayah dan ibu kita, yang diberikan kepada anak-anaknya sebagai harta pencarian ayah dan ibu kita, yang diberikan kepada anak-anaknya sebagai harta warisan setelah ayah atau ibu meninggal dunia.
b.      Contoh harta pusako randah
Harta pusako randah adalah harta pencarian ayah dan ibu (orang tua), yang diberikan kepada anak-anaknya sebagai harta warisan setelah ayah atau ibu meninggal dunia. Contohnya bisa berupa rumah, uang/emas, atau tanah persawahan/ladang.
Pemberian harta pencarian orang tua kita (ayah/ibu) untuk diwariskan pada anak-anaknya memakai hukum faraidh (hukum agama). Disebut dengan pusako randah karena harta tersebut diwarisi dari satu generasi di atas orang yang menerima warisan. Sedangkan harta pusako tinggi di warisi oleh beberapa generasi di atas yang menerima warisan. Pewaris asal tidak dikenal lagi dan pewaris disebut sebagai nenek moyang saja oleh ahli warisnya. Bagi harta pusako tinggi berlaku hukum adat Minangkabau. Dalam hal penggarapan, harta pusako tinggi menjadi milik bersama kaum yang bertali darah.
Harta pusako randah merupakan cikal bakal harta pusako tinggi dan seterusnya, berkelanjutan turun-temurun diwarisi oleh cucu dan cicit pemilik harta yang pertama.

1.1.4        Harta Pencaharian
a.      Harta pencarian menurut adat Minangkabau
Harta pencarian merupakan harta hasil usaha ayah dan ibu (orang tua), yang nantinya akan diberikan kepada anak-anaknya sebagai harta warisan setelah ayah dan ibu meninggal dunia. Harta pencarian bisa berupa rumah atau tanah, uang/emas, atau tanah persawahan/ladang.
b.      Hak dalam harta pencarian
Di Minangkabau, pembagian harta pencarian orang tua, pada umumnya pihak anak perempuan akan menerima pembagian lebih besar dari anak laki-laki. Contohnya, rumah rumah yang didirikan oleh orang tua kita menjadi milik anak perempuan, pihak laki-laki hanya akan memperoleh pembagian harta dalam bentuk uang/emas atau tanah persawahan/ladang, besarnya juga tidak sama dengan yang diperoleh anak perempuan. Bahkan ada kemungkinan anak laki-laki tidak memperoleh pembagian sama sekali, disebabkan saudara yang perempuan ada dua atau tiga orang.
Hal ini terjadi dengan alasan sebagai berikut.
1)      Sesuai dengan hukum matrilineal di mana kaum perempuan sebagai penerus garis keturunan.
2)      Kaum perempuan, merupakan kaum yang lemah dan harus dilindungi.
3)      Kaum laki-laki adalah orang yang kuat untuk berusaha.
Pemberian harta pencarian orang tua kita (ayah/ibu) untuk diwariskan pada anak-anaknya memakai hukum faraidh (hukum agama). Harta pencarian disebut dengan pusako randah karena harta tersebut diwarisi dari satu generasi diatas orang yang menerima warisan.
c.       Asal usul lahirnya istilah harta pencarian sebagai berikut.
Pada awalnya di Minangkabau hanya dikenal harta pusako tinggi, yang merupakan kekayaan bersama satu kaum. Dengan bertambahnya harta dalam suatu keluarga dari hasil usaha suami istri/ ayah ibu maka lahirlah istilah harta pencarian. Selanjutnya harta pencarian ini diberikan sebagai warisan untuk anak-anaknya. Harta pemberian dari orang tua inilah yang di sebut harta pusako randah.
Pada abad ke-19 sering timbul konflik antara anak dari ayah dengan kemenakan ayah untuk memperebutkan harta peninggalan ayah/mamak. Konflik ini sering membawa akibat buruk bagi kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga akhirnya seorang ulama terkenal dari koto tuo bernama tuanku nan tuo (1740-1832) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa hasil keringat suami istri dinamakan harta pencarian. Dengan demikian terjadilah kompromi atau kesepakatan di Minangkabau dengan adanya dua macam harta, yaitu harta pusaka dan harta pencaria. Menurut pepatah adat Minangkabau anak di pangku jo harato, kamanakan di bimbiang jo harato pusako.

1.1.5        Harta Suarang
a.      Harta suarang menurut adat Minangkabau
Kata suarang berasal dari kata surang atau seorang. Maksudnya harta suarang berasal dari harta pencarian seseorang yang dimiliki, baik oleh laki-laki atau perempuan sebelum mereka kawin/menikah. Maka dengan sendirinya harta pencarian itu sepenuhnya menjadi milik seseorang dan harta tersebut merupakan harta bawaan dari masing-masing pihak. Dengan kata lan, harta suarang adalah milik indivudu/perorangan.
Jika terjadi perkawinan maka masing-masing pihak (suami/istri) memiliki harta bawaan yang menjadi milik masing-masing. Sebaliknya jika terjadi perceraian di antara mereka, harta suarang tidak akan di bagi, dalam hal ini jika suami ingin membawa harta suarangnya boleh-boleh saja. Kekuasaan dan kepemilikan harta suarang berada pada tangan pemiliknya masing-masing, namun pada lazimnya harta suarang ini akan diberikan kepada anak-anaknya.
b.      Hak dalam harta suarang
Hak atas kepemilikan harta suarang ini adalah hak untuk menjual, menggadaikan, dan memberikan pada orang lain. Harta pencarian suami/istri selama mereka berumah tangga merupakan harta milik bersama. Oleh sebab itu, dalam adat dikatakan suarang baragiah, pencarian dibagi. Maksudnya harta suarang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencarian harus dibagikan jika terjadi perceraian.
c.       Contoh harta suarang
Contoh harta suarang berupa tanah/kebun, sawah, tanah perumahan, boleh jadi juga berupa kendaraan bermotor atau modal usaha berdagang pada saat seseorang belum berumah tangga. Secara hukum negara harta suarang dilindungi oleh hukum dengan ada bukti sertifikat hak milik/Akta Hak Milik. Dalam pergaulan berumah tangga adakalanya pihak suami dan istri saling memberikan harta ini untuk dijadikan milik bersama.

CATURWULAN III (TIGA)

1.1  Harta Adat dalam Minangkabau
1.1.1        Sako menurut adat minangkabau
a.      Pengertian sako
                        Dalam adat minangkabau, pusaka ada dua macam. Pertama berupa barang sako, kedua harto pusako.
                        Harta pusako adalah segala warisan turun temurun berupa barang yang berwujud, seperti:
1)        Hutan, tanah.
2)        Sawah, ladang.
3)        Rumah gadang dengan rangkiangnya.
4)        Pandam pekuburan.
5)        Balairung, mesjid, dll.
                        Sedangkan barang sako adalah warisan turun temurun yang bentuknya tidak berwujud seperti:
1)      Suku
2)      Adat
3)      Gelar kebesaran penghulu dan pemangku jabatan adat lainnya
4)      Pembawaan hidup
5)      Kato- kato petatah- petitih, dll
Barang sako inilah yang lazim disebut sako atau disebut juga suku sako.
                        Dalam kajian adat alam ,minangkabau, Sako lebih ditekankan kepada pengertian warisan jabatan yang diterima seseorang secara turun temurun, berdasarkan garis keturunan ibu. Ini dikenal sebagai gelar penghulu atau pemangku jabatan adat lainnya. Dalam petitih adat disebutkan: dari ninik ka mamak, dari mamak kamanakan ( dari nenek/ moyang ke mamak, dari mamak kemanakan). Jadi, sako dan pusako menurut adat minangkabau diwariskan kepada kemenakan.
                        Sako hanyalah warisan jabatan yang diterima secara turun menurun, berdasarkan garis keturunan ibu. Sedangkan pusako adalah warisan harta benda yang terwujud.
                        Untuk lebih memahami pengertian sako, berikut ini dijelaskan beberapa contoh pemakaian kata sako dalam kehidupan sehari- hari di minangkabau. Misalnya tiang sako. Tiang sako adalah tiang yang terdapat pada rumah adat minangkabau. Tiang sako dalam rumah adat, merupakan tiang terpenting di antara tiang- tiang rumah adatminangkabau lainnya. Tiang sako ini sering juga disebut sebagai tunggak tuo. Di mesjid disebut sebgai tiang merdu. Dalam rumah adat jawa juga dikenal dengan tiang sako guru.
                        Kata sako lainnya adalah karambia sako. Dalam kehidupan orang minangkabau, karambia sako artinya pohon kelapa yang mula- mula sekali ditanam.
                        Dengan demikian, sako dapat diartikan sebagai mula- mula atau yang paling utama.
                        Dalam kehidupan orang minangkabau, yang dimaksut dengan sako adalah harta, maka sako dapat diartikan sebagai harta yang telah ada secara trun temurun dari garis ketrunan ibu. Harta yang dimaksud adalah warisan harta tidak berwujud, yang merupakan tiang utama dalam menegakkan kehidupan sebah kaum.
                        Kedudukan sako dalam kehidupan orang minangkabau sangat penting. Hal ini tercermin dari kat- kata adat yang mengatakan bahwa sebagai orang minangkabau harus basuku- basako ( memiliki suku dan memiliki sako). Artinya, jika ia hanya mempunyai suku tetapi tidak mempunyai sako, belumlah sempurna orang tersebut sebagai orang minangkabau.
                        Ketentuan tentang sako dapat dilihat dari kata- kata adat “pusako dipusakoi, sako disakoi”.
                        Pusako dipusakoi, artinya mewarisi harta yang berupa benda bagi sebuah kaum.
                        Sako disakoi, mewarisi nama adat suku adat istiadat, gelar kebesaran penghulu dan pemangku jabatan adat lainnya, pembawaan hidup, kato- kato petatah- petitih, dll, yang diterima secara turun temurun menurut garis keturunan ibu.
b.      Contoh sako di minangkabau
1)      Suku
Suku adalah sako (warisan yang tidak beruwujud), yang pertama sekali bisa diterima oleh setiap orang minangkabau secara turun temurun menurut garis keturunan ibu.
Bila seorang anak lahir, ia langsung menerima warisan nama suku. Nama suku yang diterimanya adalah suku yang dimiliki kaum ibunya. Inilah inti dari aturan matrilineal. Nama suku di minangkabau pada mulanya ada empat: Koto, Piliang, Bodi, Caniago.
Apabila seorang ibu mempunyai suku koto, maka anak yang lahir dari rahimnya otomatis mewarisi nama suku koto. Jika ibu memiliki suku piliang, maka otomatis anak yang dilahirkan akan mewarisi nama suku piliang. Begitu pula bila ibu yang melahirkan memiliki suku bodi atau caniago, maka anak yang dilahirkan akan mewarisi suku bodi atau caniago pula.
Oleh karena masyarakat minangkabau terus berkembang, maka suku- suku yang adapun ikut berkembang. Hal ini bisa disebabkan karna perpindahan penduduk atau karena bertambah banyaknya jumlah anggota sebuah kaum. Akibat perkembangan ini, maka didirikan suku- suku baru.
Perkembanangan ini sesuai dengan ketentuan adat minangkabau yang berbunyi:
a)      Baju sahalai dibagi duo (baju sehelai dibagi dua)
      Artinya, mengangkat penghulu baru karena warganya telah sangat berkembang. Untuk itu diperlukan seorang penghulu lain disamping penghulu yang telah ada, agarwarganya mendapatkan bimbingan yang lebih merata.
b)      Mangguntiang siba baju (menggntingan belahan baju)
      Artinya, mendirikan penghulu baru karena terjadi persengketaan yang tidak dapat didamaikan antara dua atau beberapa kaum lainnya dalam menetapkan calon yang berhak sebagai pengganti penghulu yang lama yang tidak berfungsi lagi. Dalam pembelahan ini, suatu suku dibelah menjadi dua atau beberapa kaum, yang masing- masing ingin mempunyai penghulu sendiri atau pimpinan sendiri.
c)      Gadang menyimpang (besar menyimpang)
      Meskipun saat ini terdapat banyak suku minangkabau, namun semua suku itu tetap merupakan satu kesatuan berdasarkan empat suku yang mula- mula. Artinya, suku- suku yang didirikan kemudian tetap punya hubungan dengan empat suku yang mula- mula, yaitu suku koto, piliang, bodi, caniago.
2)      Adat
Adat yaitu warisan tidak berwujud yang erat kaitannya dengan pewarisan sebuah suku. Adat adalah suatu aturan yang telah menjadi kebiasaan dan lazim serta mengandung akibat. Adat biasa juga disebut hukum.
Dalam kehidupan suku- suku di minangkabau adat terbagi kedalam dua lingkungan. Pertama, lingkungan adat datuk katumanggungan, yaitu adat yang diwarisi oleh kaum yang memiliki suku koto dan piliang beserta belahan- belahannya. Kedua, lingkungan adat datauak perpatiah nan sabatang, yaitu adat yang diwarisi oleh kaum yang memiliki suku bodi dan caniago beserta belahan- belahannya.
Dalam hal ini jika seseorang ibu dari suku koto melahirkan seorang anaknya akan memiliki suku koto dan ia juga akan mewarisi adat dari lingkungan datuak katumanggungan . begitu pula bila seorang ibu yang memiliki suku caniago melahirkan seorang anak, maka anaknya akan memilki suku caniago dan ia akan mewarisi adat dari lingkungan adat datuak parpatih nan sabatang.
3)       Penghulu
Penghulu merupakan andiko bagi kaumnya, yaitu menjadi pemimpin dari kaumnya. Penghulu berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Ia berperan sebagai pemimpin , sebagai hakim, dan pendamai di dalam kaumnya. Artinya seorang penghulu wajib mengurusi segala hal yang berhubungan dengan kepentingan, kesejahteraan, dan keselamatan kemenakannya.
Seorang penghulu di minangkabau, sehari- hari biasa di panggil datuak. Oleh karena di minangkabau terdapat banyak penghulu maka masing- masing penghulu diberi nama. Nama diwarisi secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Inilah yang dimaksud dengan sako datuak. Contoh sako yang merupakan nama/ gelar kebesaran penghulu di minangkabau adalah sederetan nama penghulu, seperti datuak indomo, datuak bandaharo, datuak sinaro, datuak makhudum, datuak sri dirajo, datuak parpatiah, dll.
Disamping penghulu, ada jabatan adat lain yaitu: para pembantu dari seorang penghulu, seperti:
a)      Manti
Manti adalah orang yang bertugas menyampaikan segala perintah penghulu kepada anak buahnya (anggota kaum) ataupun untuk menyampaikan segala perasaan, pandangan, dan pikiran dari anggota kaum kepada penghulu. Manti juga bertugas memeriksa perkara dan menyampaikan keputusan penghulu kepada yang berpekara. Di beberapa daerah, manti juga sering disebut imam.
b)      Malin
Malin adalah orang yang menyelenggarakan segala sesuatu dalam masyarakat minangkabau, yang berhubungan dengan agama. Misalnya, nikah, talak, rujuk, kelahiran, kematian, zakat, fitrah, dll. Malin juga bertugas menjadi suatu perkara bila dianggap perlu. Jika dua orang berperkara perlu di sumpah, maka pengambilan sumpah ini dilakukan oleh malin. Malin di beberapa daerah sering juga disebut khatib.
c)      Dubalang
Dubalang adalah orang yang menjaga keamanan kaum dan menjaga agar setiap keputusan penghulu dapat dilaksanakan oleh anggota kaum. Ia yang menakik mana yang keras. Artinya, berbuat dengan segala daya dan upaya untuk menegakkan kebenaran. Dubalang harus tahu dimana “ranjau nan lah lapuak, parik nan lah runtuah” ( ranjau yang telah lapuk, parit yang telah runtuh), yang patut dinaikkan. Artinya, seorang dubalang harus tanggap dengan segala situasi dan kondisi anggota kaumnya.

Sako (gelar pusako) mempunyai empat macam sifat:
a)      Dipakai
Dipakai artinya, gelar sako yang ditinggal mamak akan dipakai kembali.
Cara pengangkatan sako adalah sebagai berikut:
1)      Baniah
Menentukian calon penghulu baru ditunjukkan oleh geleran yang patut memakai gelar penghulu.
2)      Dituah cilakoi
Artinya, diperbincangkan buruk baiknya dalam kandung kecil (dalam rapat terbatas) suatu rapatyang dihadiri oleh lelaki dan wanita dalam gelaran itu. Keputsan rapat di bawa ke dalam rapat saparuik (rapat yang lebih besar). Disini, dituah cilakoi, diperbincangkan buruk baiknya sekali lagi, disesuaikan sifat- sifatnya dengan sifat- sifat yang patut dipakai oleh seorang penghulu. Mufakat yang diambil ini adalah agar tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Jika semua telah sepakat, tidak akan timbul perkataan- perkataan sumbang di kemudian hari, barulah diteruskan pada proses berikutnya.
3)      Penyerahan banlah
Setelah dapat kata sepakat pada rapat saparuik, laku diundang penghulu- penghulu yang setungku, penghulu yang patut hadir untuk menerima penyerahan baniah. Baniah, maksutnya calon yang akan memegang jabatan penghulu atau calon penghulu. Dalam rapat itu, diberi kesempatan kepada anak piank, andan dan pasumandan untuk ikut hadir, tetapi hanya sebagai peninjau saja. Ini dimaksudkan agar mereka dapat mengenal calon pemimpin mereka dari dekat. Proses ini disebut dengan bajanjang naiak batanggo turun (berjenjang naik dan bertangga turun). Hasil mufakat dari waris di lingkungan cupak adat, diteruskan ke pesukuan. Apakah keputusan ini dipandang telah tepat. Bila dipandang telah tepat, pesukuan akan menyetujuinya. Persetujuan ini kemudian di teruskan ke kerapatan adat nagari.
4)      Manakokari
Setelah kerapatan penghulu setungku, dibuatlah janji, kapan secara peresmian pemakaian sako akan dilangsungkan. Mulai saat ini, tugas dibagi dengan anak kemenakan, sesuai dengan kepatutannya.
Meskipun banlah sudah ditunjukkan oleh kaum yang menanam atau mengangkatnya adalah nagari. Kerapatan adat nagari akan memberikan penilaian pula. Kerapatan adat nagari hanya bertugas memeriksa apakah pemilihan telah melewati prosedur adat dan melengkapi ketentuan yang berlaku dalam adat minangkabau. Kerapatan adat nagari tidak berhak memberikan keputusan, menolak atau menerima. Jika ada sesuatu yang kurang tepat menurut adat, kerapatan adat nagari hanya meminta kepada persukuan untuk meninjau kembali, agar segalanya dapat diletakkan pada tempatnya.
Selanjutnya, bila semuanya telah lengkap, kerapatan adat nagari akan memberi persetujuan melaksanakan peresmian pengangkatan sako. Setelah disetujui, sako dapat dipakai oleh pewarisnya dengan melaksanakan acara batagak penghulu.
5)      Pelaksanaan upacara batagak gala
Upacara batagak gala atau peresmian pemakaian sako biasanya dengan melakukan perhelatan besar. Dalam perhelatan ini sengaja dipotong kerbau kemudian disediakan beras seratus gantang, kuah dikacau, daging dilapah (kuah dikacau, daging dimakan) sesuai dengan ketentuan adat:
Berdiri penghulu
Dengan menjamu anak nagari
Laki- laki dan perempuan
Berdiri raja
Menjamu ditigaluhaknya
Dalam kebisaanya, upacara adat “batagak gala” dimeriahkan oleh bunyi- bunyian adat. Bunyi- bunyian adat ini terutama “nobat” atau gendang penobatan agung, talempong, serta letusan bedil setenggal.             
b)      Dilipek
Dilipek artinya, gelar sako yang ditinggalkan mamak belum dapat dipakai atau diresmikan penggantinya. Sifat sako yang seperti ini muncul apabila seorang penghulu meninggal dunia, gelar kepenghuluannya belum bisa dipakai oleh yang berhak mewarisinya.
Dalam keadaan seperti ini, kerapatan adat nagari mempunyai hak untuk menuntut kepada ahli waris atau kepada penghulu yang bertali adat agar sako ditegakkan kembali. Ternyata, setelah diadakan mufakat oleh ahli waris, belum di dapat kesepakatan siapa yang akan mewarisi. Oleh karena tidak ada kesepakatan maka adat menetapkan bahwa sako tersebut “dilipek” sampai ada kesepakatan. Artinya, belum bisa dipakai sebelum ditemukan kata sepakat.
Untuk malipek sako, biasanya nagari akan menjatuhkan denda sebagai uang pelipatnya kepada ahli waris. Hal ini dimaksudkan agar ahli waris yang bersangkutan dapat menyadari pentingnya kata sepakat dalam pengangkatan dan menegakkan sako.
c)      Tataruah
Tataruah, artinya tidak ada ahli waris yang akan menerima sako. Ini terjadi karena putus pewaris laki- laki yang bertali darah, namun masih ada pewaris perempuan. Selama tidak ada laki- laki yang bertali darah di dalam kaum tersebut, maka sako tataruah dulu sampai ada pewarisnya.
Apabila di kemudian hari laki- laki yang lahir dari perempuan yang bertali darah, maka sako dipakai kembali. Hal ini dinamakan “mambangkik batang tarandam” (membangkit batang terandam).
d)     Tabanam
Tabanam, artinya sako tidak dipakai lagi. Hal ini terjadi karena seorang penghulu meninggal dunia dan tidak ada lagi ahli waris yang bertali darah. Ini sering juga disebut “punah”.
Dalam kata- kata adat disebutkan”
Dihanyuikkan ka aia dareh
Dibuang katanah lakang
Salamo bumi takambang
Nan gelar tidak bapakai lai
Bahasa indonesianya:
Dihanyutkan ke air deras
Dibuang ketanah lekang
Selama bumi berkembang
Yang gelar tidak dipakai lagi
4)      Pembawaan hidup kato- kato petatah- petitih, dan lain- lain
Sako berikutnya adalah pembawaan hidup serta kata- kata petatah dan petitih. Sako adalah warisan tak berwujud yang menjadi pemimbing tingkah laku tentang dalam bentuk kata- kata.
Pembawaan hidup serta kata petatah dan petitih yang diwarisi lebih mencerminkan adat yang dipakai, yaitu dari lingkungan adat masing- masing kaum.
c.       Fungsi sako dalam adat minangkabau
Penghulu adalah andiko dari sebuah kaum. Artinya, ia adalah pemimpin bagi kemenakannya. Penghulu berfungsi sebagai kepala pemerintahan, karena itu sako dalam adat minangkabau berfungsi sebagai lambang kebesaran kaum, sebagai lambang dipakailah sebuah nama julukan untuk sebuah sako.
Sako juga berfungsi sebagai identitas anggota kaum dalam pergaulan ditengah- tengah masyarakat. Dengan mengenal nama sako, orang mengerti darimana asal seseorang. Ia anak bah dari penghulu mana, dan memakai kelarasan adat mana. Dengan demikian tatanan hidup orang minangkabau menjadi terang.
Sako juga membantu anggota kaum bila hendak berhubungan dengan anggota masyarakat lain. Apalagi bagia anggota kaum yang suka berpergian. Pergi berdagang misalnya. Bila ia hendak pergi kesuat daerah didalam kawasan minangkabau. Ia dapat menemui penghulu yang mempunyai sako yang sama dengan dirinya.
Jika seorang anak minangkabau mengalami masalah di tempat lain. Dengan mengenal sako yang ada di tempat itu, ia bisa mengadukan permaslahannya kepada orang yang tepat. Apalagi seorang penyandang sako, penghulu, berperan sebagai pemimpin, sebagai hakim, dan pendamai didalam kaumnya. Ia juga jadi jaksa, dan penjadi pembela dalam setiap perkara yang dihadapi kaumnya. Artinya, seorang penghulu wajib mengurus segala hal yang berhubungan dengan kepentingan, kesejahteraan, dan keselamatan kemenakannya. Kemenakan tersebut masuk juga orang dari daerah lain yang satu suku dengan dirinya.

1.1.2        Sang Sako menurut adat minangkabau
a.      Sang sako menurut adat minangkabau
Sang sako menurut adat minangkabau merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang, baik yang telah mempunyai gelar Datuk atau pun pada seseorang yang telah berjasa dan telah berbuat banyak kebaikan bagi nagari Minangkabau atau Kerapatan Adat Nagari ini. Gelar kehormatan sang sako diberikan pada seseorang, namun tidak diwariskan kepada pewarisnya (tidak secara turun-temurun).
Gelar sang sako dapat berpindah kepada orang lain sesuai dengan mufakat bersama penghulu-penghulu nagari untuk diberikan kepada orang lain yang lebih pantas untuk memakainya. Hal ini tidak terlepas dari kaidah mungkin serta patut.
Maksud dari kaidah mungkin serta patut:
Mungkinlah orang ini diberi gelar kehormatan atas jasa-jasanya terhadap nagari dan masyarakat atau sebaliknya, gelar kehormatan itu mungkin dipindah kepada yang lain karena si pemakai sudah tidak pantas untuk membawanya.
Patut atau pantaskah orang ini menyandang gelar tambahan sesuai dengan jasa-jasanya kepada nagari dan masayarakat.
b.      Pengertian sako
                              Sang sako adalah ketentuan menerima gelar jabatan di dalam adat. Dalam adat minangkabau lazim disebut dengan ketentuan pakai memakai gelar adat. Gelar adat, misalnya gelar penghulu, khatib adat, dubalang adat, manti adat dan sebgainya. Gelar umumnya dimiliki oleh pihak laki- laki. Ketentuan adat minangkabau tentang hal ini adalah sebagai berikut:
          Pusako dipusakoi. Artinya, pewarisan harta bagi sebuah kaum di miangkabau. Sako disakoi. Artinya, pewarisan gelar adat bagi sebuah kaum yang diterima turun menurun menurut garis keturunan ibu. Sang sako pakai memakai. Artinya, tata cara pemindahan warisan gelar adat boleh berpindah atas kata sepakat, tetapi masih dalam lingkaran alur dan patut.
c.       Contoh sang sako di minangkabau
          Sang sako di minangkabau merupakan warisan kaum. Umumnya mengenal gelar warisan, kepemimpinan adat dan gelar dalam pergaulan sehari- hari. Gelar dari suku asal, seperti suku koto, piliang, bodi, caniago, dan beberapa suku lainnya. Umunya memakai kata- kata yang berasal dari bahasa sansekerta.
          Bahasa sansekerta adalah bahasa sansekerta dalam lafal minangkabau. Misalnya, marajo dari kata maharajo, indo dari kata indera, mangkuto dari kata mahkota, sinaro dari kata sunaria, cmano dari kata laksamana, smapono dari kata sampurna, dan lain- lain.
          Sang sako dapat digolongkan menjadi dua bagian. Sang sako yang menyangkut gelar adat untuk penghulu serta gelar untuk masyarakat adat.
1)        Sang sako datuak dan gelar penghulu
Gelar ini dipakai diwal gelar warisan seseorang yang menjadi penghulu. Misalnya datuak Marajo. Datuak Indo. Datuak Naro. Datuak Sampono dll.
Gelar warisan seorang penghulu dapat menunjukkan identitas dalam masyarakat adat. Kalau gelar seorang penghulu merupakan gelar tungga. Seperti datuak Marajo, datuak Naro, datuak Indo, datuak Sampono ia adalah penghulu andiko di negerinya. Bila suku datuak marajo bisa mencari daerah lain, dan di daerah trsebut ia menjadi penghulu andiko, gelar kepenghuluannya lazim dijadikan gelar dengan kata- kata tunggal. Dan ia adalah suku datuak Marajo.
Selanjutnya bila suku diatas membelah diri lagi untuk yang kedua kalinya biasanya pada gelar warisan ditambahkan kata- kata sisipan. Misalnya, datuak Marajo nan basa, datuak Naro nan daleh, dll. Apabila suku dari datuak Marajo Basa kembali membelah diri, maka gelar warisannya dapat menjadi datuak marajo basa nan kuninang.
Dalam kehidupan masyarakat minangkabau gelar datuak tidak hanya diperuntukkan bagi penghulu saja. Ada pula gelar datuak yang diberikan kepada orang yang bukan penghulu. Hal ini banyak terjadi di masa penjajajahan belanda. Gelar datuak sering diberikan kepada orang yang dihormati. Baik karena jasanya atau karena jabatannya. Ada juga yang memakai gelar datuak untuk sekedar gagah- gagahan saja.
2)        Sang sako orang kebanyakan
Di minangkabau orang sering dipanggil gelarnya bukan namanya. Hal ini didasarkan pada mamangan yang berbunyi: ketek banamo, gadang bagala (kecil bernama, besar bergelar). Artinya, nama hanya dipanggilkan sewaktu seseorang masih kecil. Bila ia telah besar, ia akan diberi gelar, dan gelar itulah yang akan dipanggilkan selanjutnya. Gelar ini biasanya diberikan sewaktu acara pernikahan.
Gelar itu misalnya, Sutan, seperti Sutan Sinaro, Sutan malenggang, Sutan Sampono, dll. Sutan berasal dari bahas sansekerta. Su dan tan. Su artinya baik dan tan berarti tuan. Sutan artinya tuan yang baik. Gelar- gelar ini ada juga yang memperlihatkan posisinya ditengah- tengah masyarakat, terutama fungsi keagamaan. Misalnya gelar yang diawali dengan kata kari, katik, tuanku, malin, imam dan sebaginya. Contoh kari marajo, katik batuah, tuanku mancayo, malin gadang dan imam marajo.
Dirantau pesisir, seperti rantau tiku pariaman dan sekitarnya, lazim memakai gelar dengan sutan, bagindo, dan sidi, yang dicantumkan diawal namanya. Misalnya sutan fadillah bagi yang bernama fadillah, bagindo fahmi bagi yang bernama fahmi, sidi bachyul bagi yang bernama bachyul, dll.
Pemakaian gelar sutan, bagindo dan sidi di rantau tiku pariaman, menunjukkan identitas keturunan ayahnya. Sutan menunjukkan ayahnya berasal dari luhak nan tigo. Bagindo menunjukkan ayahnya berasal dari keturunan bangsawan pagaruyung, dan sidi menunjukkan ayahnya turunan prajurit aceh.
Di daerah padang dan sekitarnya, umumnya memakai gelar sutan dan marah, diawal namanya. Misalnya sutan efendi bagio yang bernama efendi. Marah rusli bagi yang bernama rusli. Gelar sutan di daerah padang diberikan pada anak yang lahir dari perkawinan seorang laki- laki turunan bangsawan dengan perempuan yang juga turunan bangsawan. Anak laki- laki bangsawan dan seorang perempuan dari kalangan biasa juga diberi gelar sutan. Gelar marah diberikan kepada seorang yang lahir dari laki- laki biasa yang kawin dengan perempuan bangsawan. Marah berasal dari bahasa aceh, yaitu meurah, artinya raja kecil.
Di luhak agam, panggilan sutan diberikan untuk memanggil laki- laki yang masih muda, laki- laki yang belum punya cucu dianggap masih muda, jadi masih dipanggil sutan. Bila ia telah punya cucu, maka dianggap telah tua, dan dia tidak lagi di panggil sutan, tetapi dipanggil angku. Bila semula ia bergelar sutan sutan mancayo, maka setelah punya cucu ia dipanggil angku mancayo. Bila semula ia dipanggil sutan batuah, maka setelah tua ia dipanggil angku batuah.
Cara memanggil gelar ini tergantung pada usia orang yang memanggilnya. Bila usianya lebih tua dari orang yang akan dipanggil, biasanya ia akan memanggil gelar awalnya saja, seperti sutan, bagindo, sidi, marah, dll. Bila usianya sama besar, amak yang disebutkan adalah ujung gelarnya saja. Seperti memanggil rajo angek kepada sutan rajo angek. Sebutan gelar seacar lengkap biasanya hanya dilakukan dalam acara- acara yang bersifat resmi.

1.1.3        Harta Warisan
a.      Harta warisan menurut adat alam mingakabau
Harta warisan menurut adat minangkabau adalah warisan yang diturunkan dari mamak kepada kemenakan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ibu.
Masalah warisan menurut ketentuan adat alam minangkabau diwariskan menurut hubungan pertalian darah. Dalam hal ini, baik cara mewariskan atau dalam pewarisan didasarkan pada kedudukan hubungan seseorang berdasarkan pertalian darah.
b.      Contoh harta warisan menurut adat alam minangkabau
Harta warisan menurut adat minangkabau adalah yang digunakan dari mamak kepada kemenakan secara trun temurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta warisan terdiri dari sako dan pusako. Sako adalah gelar atau jabatan penghulu dalam kaum. Pusako adalah berupa harta benda seperti sawah, ladang, rumah gadang, atau emas perak, peninggalan dari nenek moyang.
Adapun jenis warisan menurt adat minangkabauada dua macam:
1)        Warisan nasab
Warisan nasab disebut juga sebagai warisan pangkat. Pewarisan harta benda kepada ketrunan yang bertali darah menurut garis keturunan ibu.

Maksudnya warisan itu harus diterima oleh orang yang benar- benar berhak untuk menerinya.  Warisan  nasab dapat dibedakan menjadi dua macam:
a)        Warisan nan salurih (pewaris yang selurus)
Selurus artinya selurus keatas dan selurus kebawah sesuai dengan ranji. Jadi, saluruih bukan berarti seluruh tetapi berarti lurus. Lurus keatas dan lurus kebawah. Selurus ke atas sebanyak empat keturunan dan selurus kebawah emapat keturunan pula. Jadi, waris nan saluruih ada sebanyak delapan keturunan. Waris nan saluruih dikenal juga dengan waris batali darah (waris berdasarkan pertalian darah). Sebagai pedoman dalam menetapkan warisan ini dalah berdasarkan ranji yang benar- benar dapat dipercaya. Lebih dari empat keturunan ke atas telah susah untuk menelusuri dan membuktikan kebenarannya.
Contoh:
Ada empat orang bersaudara. Tiga orang perempuan bernama Aminah, Kamariah, dan Marliana, serta seorang laki- laki bernama Marjohan. Sako mereka adalah Dt. Bagindo Sutan. Oleh karena Marjohan yang laki- laki, maka yang berhak memakai sako (gelar) Dt. Bagindo Sutan adalah Marjohan. Nama lengkapnya menjadi Marjohan Dt. Bagindo Sutan .
Ketiga perempuan saudara Marjohan beranak, bercucu, dan bercicit. Anak, cucu, dan cicit mereka terdiri dari sejumlah laki- laki dan perempuan pula. Yang berhak memakai gelar Dt. Bagindo Sutan haruslah anak, cucu, dan cicit yang laki- laki berasal dari ketiga saudara perempuan Marjohan Dt. Bagindo Sutan.
Selain dari anak, cucu, dan cicit dari Aminah, Kamariah, dan Marliana tidak berhak memakai sako Dt. Bagindo Sutan. Gelar penghulu mereka tidak dapat dipakai oleh orang lain. Inilah yang disebut “sako disakoi, sako dipusakoi”. Artinya gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipakai.
Bila keturunan ini pnah, yang dapat berpindah tangan hanyalah harta pusaka, gelar pusaka tidak dapat berpindah tangan. Ini disebu “sako tatap, pusakko baranjak”. Gelar tidak dapat berpindah dari keturunan yang asli kecuali harta pusakanya.
b)   Waris nan kabullah (pewaris yang akan boleh mendapat warisan)
Waris nan kabullah dicontohkan sebagai berikut:
Kita misalkan kepada empat bersaudara diatas. Tiga perempuan yang beranama Aminah, Kamariah, dan Marliana serta seorang laki- laki bernama Marjohan. Sako yang mereka miliki adalah Dt. Bagindo Sutan. Oleh karena suatu sebab, slaah seorang perempuan itu pindah ke nagari lain. Misalkan perempuan itu adalah Marliana.
Setelah Marliana pindah, di nagari yang baru ia beranak bercucu pula. Antara Marliana dan saudara- saudaranya disebut berbeda nagari, tetapi dari cupak yang sama, yaitu cupak Dt. Bagindo Sutan. Oleh sebab itu, ketrunan dari Marliana dinamakan “waris nan kabullah”.
Sebagai waris nan kabullah, keturunan Marliana dapat mewaris sako dan kaumnya. Yaitu gelar Dt. Bagindo Sutan serta dapat memakai harta pusako yang dimilki kaumnya.
Waris nan kabullah juga boleh mendirikan sako yang lama, yaitu Dt. Bagindo Sutan. Karena keturunan ini telah mempunyai sayarat nagari. Sako atau gelar pusaka dan harta pusaka kedua lingkungan ini boleh dipakai timbal balik. Tanpa memindahkan pusaka dari satu nagari ke nagari lain. Hal ini memang diatur oleh kaum adat minangkabau.
Hubungan waris nan kabullah disebt juga dengan waris batali aia (warisan berdasarkan air). Istilah aia (air) pada warisan berdasarkan air, maksudnya adalah menunjukkan bahwa air walaupun dicencang atau dipotong, ia tidak akan putus.
2)        Warisan sebab
                 Warisan sebab dikenal juga sebagai waris badan. Waris ini dapat dibedakan ke dalam empat macam:
a)    Waris batali adat
                        Waris batali adat adalah waris yang disebabkan berhubungan secara adat. Jadi, dalam hal ini, tidak ada berhubungan darah atau berhubungan keturunan.
b)   Waris batali buek
                        Waris batali buek, terjadi bila seseorang yang ingin mewariskan harta pusaka kepada orang yang bukan bertali darah menurut garis ibu. Seperti ketentuan adat minangkabau. Misalnya, seorang ayah kandung yang ingin mewariskan harta kepda anak kandungnya.
c)    Waris batali budi
                        Waris batali budi adalah suatu pewarisan kepada seseorang karena hubungan budi. Diantara kedua belah pihak tidak ada pertalian darah. Seseorang bisa berhak mewarisi sesuatu karena ada suatu ikatan budi dengan yang meninggal. Ikatan budi ini bisa berupa hubungan baik dalam pergaulan, hubungan tingkah laku, dan sebagainya.
d)   Waris batali ameh
                        Waris batali ameh merupakan waris yang juga tidak didasarkan atas dasar pertalian darah. Mislanya, seseorang yang ingin mewariskan harta bendanya kepada pendatang yang telah dianggap sebagai kemenakan sendiri. Oleh karena ia dianggap sebagai kemenakan, maka ia diberi hak atas pusaka.



DAFTAR PUSTAKA
Yulfian, azrial. 2008. Budaya Alam Minangkabau Untuk SD Kelas 6. Padang: Angkasa Raya.
Zamris, Dt. Sigoto. 2004. Budaya Alam Minangkabau untuk SD Kelas 6. Jakarta : Bumi Aksara.
Ibrahim Dt. Sanggoesno Diradjo. 2012. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi :                          Kristal Multimedia.
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). 2002. Adat Basandi                              Syarak, Syarat Basandi Kitabullah. Padang : Sako Batuah.
Zamris. 2011. Budaya Alam Minangkabau. Padang : Jasa Surya.


Rangkuman Materi Budaya Alam Minangkabau Kelas IV Sem II

RANGKUMAN MATERI BUDAYA ALAM MINANGKABAU  KELAS IV SEM II Nah teman-kali kali ini kita akan membahasas rangkuman materi BAM kelas IV...