4) perempuan dalam kaumnya. Oleh sebab itu,
limpapeh merupakan lambing kekuasaan ibu. Kekuasaan ke dalam (intern) dari
sebuah kaum.
5) Laki-laki
tertua dalam sebuah kaum disebut “Tungganai”. Tugasnya sebagai “Mamak Kapalo
Warih”, mamak kapalo warih mempunyai kekuasaan ke luar (ekstern) serta
memelihara harta benda milik kaum.
6) Baik
pusaka kaum maupun pusaka gelar, diwariskan oleh niniak kepada mamak, dan mamak
kepada kemenakan, jadi tetap diwarisi oleh kaum yang bersangkutan.
7) Laki-laki
dan perempuan dalam satu keturunan menurut garis ibu, dikatakan “sapasukuan”
atau satu suku, orang yang sapasukuan tidak boleh menikah. Kepada yang
melanggar ketentuan adat tersebut akan dijatuhi hukuman adat. Hukuman adat
tersebut diantaranya, dikeluarkan dari suku atau dibuang dari kaum.
8) Dengan
berlakunya system keturunan menurut garis keturunan ibu, kedudukan anak
perempuan dalam suatu keluarga menjadi sangat istimewa.
b.
Sumber
Sistem Kekerabatan Minangkabau.
Sistem
kekerabatan matrilineal bersumber dari filsafat adat Minangkabau, Alam
takambang jadi guru. Dasarnya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Maksudnya,
segala sesuatu yang terjadi di alam, merupakan petunjuk diberika Allah SWT
untuk makhluk yang berakal. Oleh karena itu, prilaku alam dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam menentukan sikap pada kehidupan sehari-hari.
Hal
ini sesuai dengan ajaran syarak (islam). Menurut syarak. Ayat-ayat Allah SWT
tidak hanya meliputi apa yang tertulis di Al- Qur’an, tetapi juga hikmah yang
di balik itu, diantaranya alam takambang. Untuk inilah manusia diberi akal dan
pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah manusia dapat mengembangkan yang
terkandung dalam ayat-ayat Allah SWT. Itulah sebabnya, siapa yang paling mampu
mengembangkan akal dan pikiranya, dialah yang paling berhasil dalam hidupnya.
Inilah yang mendorong orang minangkabau berguru kepada islam.
Sistem
kekerabatan Minangkabau adalah salah satu contoh dari hasil belajar dari alam.
Sistem ini berasal dari petunjuk Allah
lewat pergaulan hidup alam binatang. Salah satu binatangnya adalah ayam
kampung. Ayam kampung adalah hewan peliharaan, sehingga ia sangat dekat dengan
kehidupan manusia. Oleh karena ayam lebih banyak berada dan bermain di
pekarangan rumah pemiliknya, kehidupan ayam menjadi renungan dan kajian, yang
akhirnya menjadi dasar nenek moyang minangkabau dalam menetapkan sistem
kekerabatanya.
Apabila
kita perhatikan kehidupan ayam dengan sungguh-sungguh, banyak pelajaran yang
dapat kita petik untuk diteladani. Anak
ayam misalnya, anak ayam selalu mengikuti induknya. Karena induknyalah yang memiliki naluri keibuan.
Artinya secara naluriah, induk ayamlah yang merasa paling bertanggung jawab
untuk mencarikan, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Perhatikan
lagi tabiat ayam dalam mencari makanan. Dalam mencari makan mereka tidak hanya
menunggu tetapi mereka mengais tanah dan bepergian ke tempat yang mungkin ada
makanan. Untuk mendapatkan sesuatu
mereka berusaha terlebih dahulu. Ini sesuai dengan kata-kata adat Minangkabau,
“ Nak Kayo Kuek Mancari”
Dalam
soal kasih sayang, induk ayam tidak membeda-bedakan kasih sayang kepada
anak-anaknya. Baik anak yang jantan atau betina. Yang gagah ataupun yang jelek.
Dalam mengerami telur, induk ayam tidak membedakan telur ia sendiri atau telur
orang lain. Telur ayam atau telur itik. Bila anak itik itu lahir, induk ayam
tetap menyayanginya, sama seperti kepada anak kandungnya sendiri. Ia pun tidak
iri meskipun anak itik itu kemudian mampu berenang. Setelah itik itu besar,
induk ayam juga merelakan si itik untuk menentukan sendiri jalan hidupnya,
tanpa sedikitpun mengharapkan balas jasa.
Naluri
keibuan tidak hanya terdapat pada ayam. Pada hewan lain juga demikian.
Berdasarkan itu semua. Orang minangkabau berkesimpulan, bahwa secara alamiah.
Ikatan batin makhluk hidup lebih dekat kepada induknya atau ibunya disbanding
kepada bapaknya.
Pertimbangan
lain, dengan sistem kekrabatan yang didasarkan pada garis keturunan ibu,
diharapkan agar urusan kekerabatan tidak menjadi salah urus, baik terhadap
anak, maupun terhadap kebendaan yang memenuhi hajat hidupnya. Sekiranya
anak-anak diserahkan pengurusannya kepada ayahnya, dikhawatirkan kehidupana si
anak tidak terurus. Karean si ayah waktunya habis untuk mencari nafakah atau
bekerja. Begitu pula harta benda bila diserahkan pengurusanya kepada pihak
laki-laki, dikhawatirkan harta itu tidak terpelihara dengan baik bahkan mungkin
akan habis terjual, apalagi bila si laki-laki itu memiliki istri lebih dari
satu.
Selain
dari itu, tidak diberikanya warisan harta benda kepada pihak laki-laki. Secara
kodratynya, laki-laki memiliki tubuh yang kuat. Laki-laki punya kemampuan untuk
berusaha atau mencari, sedangkan wanita mempunyai bfisik yang lemah, tidak
mampu berusaha seperti laki-laki. Laki-laki juga suka bepergian.
Seorang
laki-laki tidak boleh hanya menerima tanggung jawab untuk mengelola tanah,
sawah, dan barang-barang lainya, sehingga bisa mnedatangkan penghasilan. Inilah
tanggungjawab laki-laki di minangkabau.ia berperan sebagai pengelola harta
benda untuk memperkuat ekonomi kaumnya. Di samping bekerja untuk kesejahteraan
anak-anaknya sendiri, sesuai dengan ungkapan adat anak dipangku, kemenakan
dibimbing.
c.
Contoh
sistem kekerabatan Minangkabau
Sigoto
(2004: 6) Menyebutkan sistem kekerabatan di minangkabau sebagai berikut :
1) Kekerabatan
karena bertali darah
Pada
umumnya setiap ornag minangkabau hidup berdasarkan kelompok sukunya. Awalnya di
minangkabau, menurut tambo sejarah hanya ada empat suku yang diciptakan oleh
dua orang datuk, yaitu datuk katumanggungan dengan suku koto piliang yang
berasal dari kata pilihan, dan datuk
parpatiah nan sabatang dengan suku bodi caniago, berasal dari kata budi
nan baharago.
Yang
menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal adalah kaum atau paruik, pecahan
dari kaum/paruik adalah jurai, pecahan jurai adalah samandel seibu
yang terdiri dari nenek, ibu, dan anak-anaknya.
Setiap
suku terdiri dari beberapa paruik dipilih seseorang yang berwibawa untuk jadi
pimpinan paruik. Ada kalangan saparuik yang disebut juga sekaum. Ikatan batin
anggota sekaum di minangkabau sangatlah besar, ini disebabkan karena:
a) Orang
sekaum seketurunan
b) Orang
sekaum sehina-semalu.
c) Orang
sekaum sedancing bak basi, saciok bak ayam, tibo di kaba baiak baimbauan, tibo
dikaba buruak dihambauan.
d) Orang
sekaum sapandam sapasukuan.
e) Orang
sekaum saharato sa pasukuan.
2) Kekerabatan
bukan bertali darah/perkawinan.
Menurut Sigoto (2004: 7) tali kekerabatan itu adalah
sebagai berikut :
a) Hubungan
kekerabatan induak bako dan anak pisang.
Hubungan
kekerabatan induak bako adalah sebagai berikut : anak saudara perempuan dari
pihak ayah atau kemenakan ayah adalah induak bako bagi anak-anak ayah/bapak. Hubungan
kekerabatan anak pisang adalah sebagai berikut : anak-anak ayah/ bapak adalah
anak pisang bagi kemenakan ayah/bapak.
Azrial (2008:
10) menyatakan bahwa Hubungan kekerabatan induak bako dan anak pisang adalah
hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara-saudara perempuan
bapaknya. Atau sebaliknya, hubungan antara seorang perempuan dengan anak-anak
saudara laki-lakinya.
Seorang
perempuan di minangkabau adalah induak bako dari anak saudara laki-lakinya.
Sebaliknya, anak dari saudara laki-laki seorang perempuan adalah anak pisang
dari perempuan tersebut.sedangkan ibu dari seorang perempuan tersebut atau ibu
dari bako disebut induak bako.
Dengan demikian,
seorang perempuan diminangkabau bisa sekaligus berfungsi sebagai kemenakan bagi
saudara laki-laki ibunya, dan menjadi anak bako dari anak saudara laki-laki
ibunya.dan bakonya. Jadi, seorang wanita
Biasanya, anak
perempuan di minangkabau, disamping diasuh oleh ibunya, ia juga di asuh oleh
induak bako dan baakonya. Jadi, seorang wanita bisa mendapatkan pendidikan dari
dua buah rumah gadang, rumah gadang ibunya dan rumah gadang bapaknya.
b) Kekrabatan
ipar-bisan
Hubungan
kekerabatan ipar adalah hubungan
antara ayah/bapak dengan saudara laki-laki dari pihak ibu. Hubungan kekerabatan
bisan adalah hubungan antara
ayah/bapak dengan saudara perempuan dari pihak ibu. Demikian juga sebaliknya,
saudara ayah/bapak yang laki-laki merupakan ipar
bagi ibu dan saudara ayah/bapak yang merupakan bisan bagi ibu.
c) Kekrabatan
sumando- mamak rumah- pasumandan
Kekrabatan
sumando adalah hubungan antara seluruh keluarga pihak perempuan dengan suami.
Dengan kata lain ayah/bapak di rumah ibu merupakan urang sumando. Sedangkan
saudara laki-laki ibu merupaka mamak
rumah bagi ayah/bapak. Hubungan pasumandan
adalah hubungan pihak perempuan/ibu pihak keluarga ayah/bapak di rumah
keluarga ayah/bapak.
d) Kekerabatan
minantu-mintuo
Hubungan
kekerabatan minatu adalah hubungan orang tua pihak ibu terhadap
suaminya atau dengan kata lain, ayah/bapak kita/kamu adalah menantu orang tua
ibu, sebaliknya ibu juga menantu bagi orang tua ayah/bapak. Kekerabatan mintuo adalah hubungan antara ayah/bapak
kepada orang tua ibu, sebaliknya ibu dengan orang tua ayah/bapak. Dengan kata
lain mintuo adalah orang tua kedua
belah pihak dari ayah dan ibu.
d.
Membandingkan
sistem kekrabatan Minangkabau dengan budaya lain
Jika
dibandingkan dengan suku-suku lain di negeri ini, budaya adat minangkabau jelas
tiada duanya. Secara umum, budaya, dan adat daerah luar minagkabau
menganut/mewarisi sistem kekeluargaan patrilineal, dimana suku diambil dari
garis keturunan bapak. Contohnya adalah saudara-saudara kita yang dari daerah
tapanuli.
1.1.2
Sistem
Perkawinan
a.
Sistem
Perkawinan Di Minangkabau
Tentang
jodoh sebagai pendamping hidup kita, apapun yang kita lakukan atau usahakan
kalau tidak izin allah tidak akan terjadi. Azrial (2008: 12) menyatakan bahwa
perkawinan menurut adat minangkabau adalah persoalan kaum kerabat. Mulai
mencari pasangan membuat persetujuan, pertunangan, dan acara perkawinan.
Menurut adat minangkabau, jika lelaki dan perempuan ingin melaksanakn
perkawinan untuk membentuk suatu keluarga baru maka segala urusan menurut adat
Minangkabau menjadi urusan dan tanggung jawab bersama kedua belah pihak
keluarga.
b.
Upacara
Perkawinan Di Minangkabau
Bagi
orang minagkabau peristiwa perkawinan merupakan suatu hal yang akan
menghubungkan tali kekerabatan antara pihak keluarga laki-laki dan pihak
keluarga perempuan. Proses perkawinan tersebut selalu dilaksanakan terlebih
dahulu oleh pihak keluarga, terutama pihak keluarga perempuan. Awalnya mereka
akan memilih orang kepercayaan yang akan dijadikan utusan dalam meminang,
menentukan hari dan sebagainya.
Menurut
Sigoto (2004.: 15) proses meminang
secara umum ada tujuh tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Manapiak
bandua
Proses manapiak
bandua ini dilaksanakan dengan mengutus orang kepercayaan keluarga pihak
perempuan, untuk menyampaikan meksud keluarga pihak perempuan kepada pihak
laki-laki, proses manapiak bandua ini awalnya hanya berlangsung antara orang
tua (ibu, bapak) pihak perempuan dan pihak laki-laki. Utusan pihak perempuan
datang dengan membawa sirih lengkap, dalam pertemuan ini pihak keluarga
laki-laki akan menangguhkan dulu beberapa hari untuk memeberikan jawaban,
karena mereka akan merundingkannya terlebih dahulu dengan seluruh kaum kerabat
pihak laki-laki dan keluarga pihak laki-laki.
Untuk manapiak
bandua ini biasanya utusan terdiri dari satu atau dua orang perempuan dan satu
orang laki-laki (orang dewasa yang telah menikah) dari sumando dan bisan
keluarga perempuan.
2) Maminang
Jika kesepakan
dari pihak kaum kerabat laki-laki telah ada maka dilakukanlah proses meminang.
Orang kepercayaan pihak perempuan ditambah dengan salah seorang mamaknya datang
meminang ke kaum kerabat pihak laki-laki. Hal ini sesuai dengan pepatah adat kawin jo niniak mamak nikah jo parampuan.
Umumnya pada
saat maminang ini belum ditentukan jawaban, karena pihak laki-laki harus
merundingkanya lagi, dan jawaban akan disampaikan lewat utusan pihak laki-laki.
3) Batimbang
tando jo bainai
Jika kesepakan
kaum laki-laki telah tercapai maka akan disampaikan oleh orang kepercayaan kaum
laki-laki kepada pihak perempuan. Proses selanjutnya dalah melaksanakan batimbang tando, acara ini dapat kita samakan dengan ikatan pertunangan, diamana kaum kerabat pihak perempuan datang
bersama-sama kerumah kaum kerabat pihak laki-laki, dengan membawa siriah pinang batimbang tando, dilengkapi dengan benda sebagai pertanda yang
berupa sebentuk cincin emas, kain tenun lapak, atau keris.
Pada saat acara
batimbang tando ini, kedua belah pihak keluarganya akan menentukan hari baik
dan bulan baik untuk melaksanakan pesta pernikahan, dan syrat-syarat lainya
yang harus dipenuhi, serta bentuk pelaksanaan pesta perhelatan yang akan
dihadapi bersama.
Setelah acara
batimbang tando selesai biasanya pihak calon marapulai jo anak daro akan
melakukan pembuatan inai (bainai) di kuku jari tangan dan kai, sebagai pertanda
kepada sanak saudara dan teman-temanya bahwa mereka telah bertunangan. Acara
bainai dilakukan malam hari di rumah calon anak daro yang dihadiri keluarga
kedua belah pihak. Masa pertunangan ini
tidak boleh terlalu lama waktunya, hal ini sesuai dengan pepatah adat karajo
baik indak elok dipalalaikan, kok malang ditimpo dek nan buruak.
Andaikata
pertunangan putus, pihak yang memutuskan akan mengembalikan tanda yang telah
diterima sebelumnya. Pihak lain tidak berkewajiban mengembalikanya. Setelah
pertunangan berjalan beberapa lama barulah dimulai perundingan untuk acara
pernikahan.
4) Manikahkan
Proses
manikahkan, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak keluarga perempuan dan
laki-laki, tanggal dan hari pelaksanaaya, dilakukan di rumah pihak perempuan.
Pernikahan dipimpin/dilaksanakan oleh pejabat Kantor Urusan Agama (KUA).
Sebenarnya
setelah dinikahkan oleh pejabat KUA yang dihadiri oleh kedua belah keluarga,
mereka telah resmi sebagai pasangan suami istri, namun karena proses manjapuik
marapulai belum dilaksanakan maka pihak laki-laki belum boleh tinggal serumah
dengan pihak perempuan. Pada acara pernikahan ini terjadi peristiwa ijab Kabul
yang diiringi dengan pemberian mahar kepada pihak perempuan oleh pihak
laki-laki. Mahar ini dapat berupa emas atau seperangkat alat shalat dan
alquran.
5) Manjapuik
marapulai
Acara manjapuik
marapulai dilakukan pada saat pesta perhelatan. Anak daro jo pangiriangnyo
datang ketempat pesta pernikahan laki-laki, salah seorang pangiriang anak daro
yang dituakan (laki-laki) mohon izin kepada keluarga beserta mamak marapulai
untuk manjapuik tabao sang marapulai ke rumah anak daro. Biasanya di rumah
marapulai, anak daro atas permintaan bersama juga dipersandingkan sebentar baru
dilepas untuk dibawa kerumah anak daro.
6) Mempersandingkan
anak daro
Setelah
marapulai dijapuik oleh anak daro, selanjutnya mereka dipasandiangkan di rumah
anak daro, mereka akan menerima ucapan selamat berumah tangga dari tamu-tamu
yang di undang. Dalam mempersandingkan anak daro, Biasanya juga dilakukan
upacara penjamuan. Upacara penjamuan merupakan puncak dari perhelatan. Besar
kecilnya perhelatan tergantung pada kondisi ekonomi keluarga si perempuan.
7) Manjalang
mintuo
Selesai pesta
pernikahan, kegiatan anak daro jo marapulai adalah saling melakukan kunjungan
ke rumah dunsanak anak daro dan marapulai. Acra ini disebut manjalang mintuo,
yang dilaksanakan setelah empat atau lima hari usai pesta perhelatan. Pada
umumnya yang dibawa sebagai buah tanga dari anak daro jo marapulai adalah kue
dan nasi kunyiek (ketan berwarna kuning), sebaliknya mintuo yang dijalang akan
memberikan buah tangan berupa bahan pakaian, uang, atau emas sebagai bekal
untuk membantu anak daro jo marapulai dalam mengarungi bahtera hidup baru.
c.
Syarat
Syah Perkawinan Menurut Adat Minangkabau
Menurut
Sigoto (2004: 13) ada beberapa syarat syah perkawinan adat menurut adat Minangkabau
yaitu sebagai berikut:
1) Adat
kita orang minangkabau ialah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Maka untuk sahnya perkawinan, kita menempuh dua cara, yaitu menurut agama
dengan melakukan akad nikah secara islam di hadapan penghulu/wali hakim dari
pejabat KUA disaksikan oleh kedua belah pihak anggota keluarga.
2) Selanjutnya
kita melaksanakan secara adat. Menurut adat minagkabau, pihak
laki-laki/marapulai harus dijemput pihak perempuan/ anak daro, karena menurut
adat kita pihak laki-laki akan tinggal di rumah perempuan maka di dalam adat
dikatakan :
Sigai
mancari anau
Anau
tatap sigai tingga
Datang
dek bajapuik
Pai
iyo dek baanta
Bak
ayam putiah tabang siang
Basuluah
mato ari
Bagalanggang
mato rang banyak.
Maksudnya
walaupun akad nikah menurut agama suddah dilakukan. Suami baru boleh pulang ke
rumah istrinya jika telah dijemput pihak kelurga istrinya dan diantar keluarga
suami. Di Minangkabau, secara lahiriah yang punya rumah adalah kaum wanita/ibu.
Sedangkan kaum laki-laki tempatnya adalah di surau kaumnya. Aturan pihak
laki-laki untuk tinggal di rumah kaum istrinya sampai sekarang masih berlaku
hal inilah yang dimaksud Sigai mancari
anau, Anau tatap sigai tingga, Datang dek bajapuik, Pai iyo dek baanta, Bak
ayam putiah tabang siang, Basuluah mato ari, Bagalanggang mato rang banyak.
Maksudnya adalah pemberitahuan kepada orang banya/orang kampung, bahwa
marapulai dan anak daro sudah menikah. Pemberitahuan ini dilakukan dengan cara
mengundang orang-orang di kampung untuk datang baralek.
3) Selanjutnya
pihak perempuan juga wajib mengunjungi rumah orang tua laki-laki (suaminya).
Acara ini disebut manjalang mintuo. Jika tiga hal tersebut diatas telah
dilaksanakan maka resmilah menurut adat dan agama perkawinan tersebut.
d.
Contoh
Sistem Perkawinan Minangkabau
Menurut
alam pikiran Minangkabau, perkawinan yang paling ideal ialah perkawinan antara
keluarga terdekat, seperti perkawinan antara anak dengan kemenakan. Perkawinan
ini sering disebut “pulang ka mamak” atau “pulang ka bako”. Pulang ka mamak
artinya mengawini anak mamak (anak adik atau anak kaka laki-laki dari ibu).
Pulang ka bako, artinya mengawini kemenakan ayah (anak dari saudara perempuan
ayah).
Perkawinan
terbaik berikutnya adalah kawin sekorong, sekampung, senagari, seluhak, dan
akhirnya sesama orang minangkabau. Perkawinana dengan orang luar minangkabau
kurang disukai, namun tidak dilarang. Perkawinan dengan orang luar minangkabau,
terutama mengawani wanita luar, dianggap bisa merusak struktur adat, karena nak
yang lahir dari perkawinan ini tidak mempunyai suku. Orang luar minangkabau
menganut sistem patrialkad, si anak ikut
suku ayah. Sedangkan di Minangkabau, si anak menurut suku ibu, akhirnya, anak
yang lahir dari perkawinan wanita bukan dari minangkabau. Sedangkan ayah dari
minangkabau, tidak mempunyai suku.
Bila
wanita minangkabau kawin dengan orang luar minangkabau, tidak merusak struktur
adat, karena anak tetap mempunyai suku minangkabau. Hanya saja, anak dari hasil
perkawinan ini bisa kehilangan hak. Hak yang hilang adalah hak untuk mewarisi
gelar pusaka. Gelar pusaka di Minangkabau hanya berhak disandang oleh keturunan
minanngkabau asli. Artinya, jika si anak yang lahir adalah laki-laki, maka anak
ini tidak berhak untuk diangkat menjadi seorang penghulu, karena bapaknya bukan
orang minagkabau. Berarti, anak ini bukan orang minangkabau asli.
e.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam perkawinan
Menurut
Sigoto (2004: 18) ada beberapa nilai yang terkandung dalam perkawinan yaitu
sebagai berikut :
1) Nilai
yang terkandung dalam islam adalah jika telah dewasa dan punya kemampuan,
segeralah berumah tangga karena hal itu adalah ibadah kepada allah dan
kewajiban menurut sunnah rasulullah Saw.
2) Nilai
yang terkandung menurut adat. Hal ini tercermin dari sikap orang minang, yang memandang
“tabu” bagi seorang wanita atau gadis apabila gadang tak balaki
3) Nilai
sosial. Perkembangan/pertumbuhan masyarakat baru akan terjadi hubungan antara
dua keluarga besar.
4) Dari
nilai moral. Sangat tercela dan merupakan aib bagi keluarga apabila dua orang
berlawanan jenis bergaul intim tanpa adanya ikatan perkawinan.
Kalau
kita lihat dari sudut sosial (kemasyarakatan), perkawinan tersebut pada intinya
adalah mempertemukan dua keluarga besar yaitu keluarga pihak laki-laki dan
lkeluarga pihak perempuan. Selanjutnya, terjadilah hubungan baipa babisan (ipar-bisan) yaitu
hubungan antara adik/kakak dari pihak istri yang disebut ipar dan adik/kakak
dari pihak suami tersebut.
Selanjutnya
dari segi moral, seorang laki-laki telah punya istri, kita menyebutnya sebagai
orang yang telah dewasa, umumnya mereka telah diberi gelar. Hal ini sesuai
dengan pepatah adat kita, ketek banamo
gadang bagala dan dalam pergaulan
sehari-hari dengan masyarakat bagi orang yang telah menikah dianggap duduaklah samo randah kok tagaklah samo
tinggi dengan anggota masyarakat
lainya.
Ada
beberapa persyaratan lain yang harus dilakukan untuk memilih calon istri atau
suami menurut agama dan adat, yaitu sebagai berikut:
1) Kedua
calon mempelai harus beragama islam
2) Kedua
calon mempelai tidak sedarah atau sepesukuan
3) Kedua
calon mempelai dapat saling menghormati/menghargai orang tua dan keluarga kedua
belah pihak.
4) Calon
suami telah mempunyai pekerjaan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
1.1.3 Fungsi dan Peran Urang Sumando
a. Peranan urang sumando di ranah
minang
Seorang
suami jika masih tinggal atau menetap di rumah istri maka oleh keluarga
istrinya ia dianggap sebagai seorang tamu yang di hormati atau disegani. Dia
hadir di rumah keluarga istrinya karena tali perkawinan, namun sebagai seorang
sumando dia tidak termasuk anggota keluarga pihak istrinya. Dengan kata lain
kedudukannya seperti pepatah minangkabau:
sasalam-dalam aia sahinggo dado itiak,
saelok-elok sumando sahinggo pntu biliak.
Maksud
dari pepatah tersebut, kewenangan sumando di rumah istrinya hannya sebatas
pintu biliak atau kamar istrinya, serta sebagai kepala keluarga anak-anak dan
istrinya. Pepatah lain mengatakan, namun pepatah ini buat zaman sekarang sudah
tidak lazim di sebut orang. Karena pada umumnya begitu mereka terikat
perkawianan, mereka sudah tidak tingal lagi dengan orang tua atau keluarga
istrinya. Saat ini peran ayah atau bapak selaku sumando sangalah besar dan
berat, demi kelangsungan hidup keluarga dan pendidikan anak-anaknya serta
memikirkan kemenakannya, ingat pepatah adat kita yang mengatakan: anak dipangku
kemenakan di bimbing.
b. Jenis Sumando di Minangkabau
Orang
minangkabau dalam kehidupan sehari-hari selalu mengambil contoh pada kehidupan
di alam ini temasuk pola kehidupan manusia. Pepatah minangakabau mengatakan
ambiak contoh ka nan sudah, ambiak tuah ka anan manang.
Panakiak
pisau sirauik
Ambiak
galah batang lintabuang
Silodang
ambiak ka nyiru
Satitiak
jadi lauik
Nan
sakapa jadikan gunung
Alam
takambang jadikan guru
Dari pepatah adat tadi kita menyimpulkan
bahwa tingkah laku manusia, perubahan alam serta pertumbuhan flora dan fauna
menjadi perhatian dan ispirasi orang Minangkabau. Sehingga tingkah laku dan
perbuatan manusia dikiaskan kepada hal-hal yang bersifat alam (flora dan
fauna).
Ada
enam kategori sumando di minangkabau, yaitu sebagai berikut:
1) Sumando
ayam gadang atau sumando buruang puyuah.
Maksudnya, sumando yang hanya
pandai beranak, tapi tanggung jawab terhadap istri dan anaknya tidak ada.
2) Sumando
langau hijau
Maksudnya, sumando berpenempilan
gagah tapi kelakuannya kurang baik, suka kawin cerai, dan meninggalkan
anak-anaknya tanpa tanggung jawab.
3) Sumando
kacang miang
Maksudnya, urang sumando yang
tingkah lakunya hanya membuat orang susah, suka memfitnah, mengadu domba, dan
memecah belah kaum keluarga istri.
4) Sumando
lapiak buruak
Maksudnya, urang sumando yang tidak
menjadi perhitungan bagi keluarga istrinya, kalau tidak alang kepalang perlu
tidak akan dipergunakan, seperi tikar pandan yang lusuah di rumah istrinya.
5) Sumando
kutu dapua
Maksudnya, urang sumando yang
banyak bekerja di rumah dari pada diluar, dimana kerjanya seperti memasak,
mencuci piring, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaannya sudah seperti
kaum perempuan.
6) Sumando
niniak mamak
Sumando yang jadi suri tauladan dan
sangat diharapkan semua orang, tutur kata dan budi bahasanya sangat baik, serta
suka membantu kaum keluarga istrinya dan kaum keluarganya sendiri.
Namun
saat ini telah lahir pula jenis sumando yang baru, yaitu sumando gadang malendo, maksudnya
orang sumando karena usahanya berhasil, dia dipandang orang, baik karena
jabatan atau kekayaannya. Tetapi tanpa malu-malu telah mengangkat dirinya
sendiri sebagai kepada kaum di rumah kaum istrinya, dia telah berperan sebagai
penentu pada kaum istrinya.
1.1.4 Hubuangan Mamak dan Kamanakan
a. Funsi atau peran mamak di
minangkabau
Hubungan
mamak dan kemenakan bukanlah hubungan sekedar panggilan terhadap saudara
laki-laki ibu, tapi mamak mengandung pengertian sebagai pemimpin, pelindung,
dan pengayom dalam kehidupan kemenakannya serta masyarakat minangkabau. Pada
masa dahulu peranan atau fungsi mamak sangatlah berat, seorang mamak harus
bertanggung jawab sepenuhnya atas kepentingan kemenakan dan kaumnya., ditambah
tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Sesuai kata pepatah kita
Minangkabau, baban barek, singguluang
batu.
Fungsi
mamak tidak hanya sebatas memelihara anak kemenakannya, baik kemenakan yang
laki-laki dan perempuan, tetapi sebagai seorang pemimpin juga harus menjaga
kampong dan nagari, serta adat istiadat yang telah digariskan oleh nenek
moyang.
b. Fungsi kemenakan di Minangkabau
Kamanakan
laki-laki sebagai calon pemimpin dan penerima waris sako jo pusako, atau penerima pusako batolon.g, ako turun temurun, sebagai calon pemimpin kepada
kemenekan oleh mamak diturunkan dasar-dasar kepemimpinan yang adil, bijaksana
dan mampu mengarifi keadaan lingkungan, serta bertanggung jawab, maka kemenakan
punya kewajiban menuntut ilmu pengetahuan dunia akhirat. Tidak jarang dalam
mencari ilmu pengetahuan kemenakan laki-laki harus meninggalkan kampong
halamannya.
Kemenakan
perempuan, sebagai penerus garis keturunan, panarimo warih bajawek kajadi
limpapeh rumah nan gadang dan sebagai ibu bundo kanduang amban puruak pumpunan
jalo pegangan kunci biliak dalam juga berkewajiban untuk menuntut ilmu
pengetahuan, namun dalam menuntut ilmu pengetahuan pada umumnya jarang yang pergi
merantau jauh.
Seorang
mamak harus selalu mengawasinya, seperti kata-kata adat, kok siang maliek-like,
manguruang patang mangaluakan pagi. Artinya siang hari dilihat, malam diawasi,
jelas waktu dan kemana perginya, dengan maksud tidak lepas dari pengawasan
mamaknya. Selanjutnya kemenakan dalam batas yang telah digariskan dalam adat
minangkabau harus patuh pada mamaknya:
Kok
dihimbau lakeh datang
Disuruah
lakeh pai
Pai
tampek batanyo
Pulang
tampek babarito
Maksudnya, jika mamak yang menyuruh atau
memanggil kemenakan harus cepat-cepat melaksanakan, dan kalau ingin berpergian
atau mengerjakan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama kepada mamaklah
tempat kemenakan bertanya dan memberitahu kalau kita sudah kembali dengan
pekerjaan tersebut. Satu hal lagi kewajiban kemenakan yang pada era sekarang
mungkain sudah terlupakan yaitu, kemenakan harus menolong mamaknya jika
mamaknya dalam kesukaran; dan kalau makak dihina orang, maka kemenakanlah yang
menuntut balas.
c. Tali kekerabatan mamak dan
kemenakan di Minangkabau
Ada
empat macam tali kekerabatan mamak dan kemenakan, yaitu sebagai berikut:
1) Kemenakan
batali darah, artinya semua anak-anak saudara perempuan pihak laki-laki menurut
garis keturunan ibu.
2) Kemenakan
batali adat, artinya orang lain yang datang barmamak kepada seorang datuk
penghulu kaum. Dengan mengisi adat jo limbago, namun statusnya tidak sasako dan
pusako atau tidak dapat mewarisi sako jo pusako. Suku orang yang datang
bermamak ini sama dengan suku kaum yang menerima. Dalam hal ini pepatah
mengatakan hinggok mancakam, tabang
basitumpu. Sako yang dipakai adalah sako asal kampuangnyo.
3) Kemenakan
batali buek, artinya seseorang yang diangkat atas kesepakatan datuk penghulu
kaum, bersama dengan anggota kaumnya. Seseorang diangkat menjadi kemenakan
karena orang ini memiliki tingkah laku dan budi pekerti yang jujur tetapi
berasal dari kampong atau nagari yang berbeda walaupun sukunya sama dengan kaum
datuk tersebut. Orang ini juga mengisi adat dengan limbago. Status menurut adat
adalah tidak dapat mewarisi sako jo pusako.
4) Kemenakan
batali ameh, artinya orang yang diangkat jadi kemenakan dalam satu pesukuan,
tapi pendatang ini tidak sama sukunya dengan suku yang diikuti. Orang ini
dinamakan mengisi adat dan mengisi limbago dan statusnya tidak sama dalam kaum
penghulu tersebut. Juga tidak dapat mewarisi sako jo pusako.
CATURWULAN
II (DUA)
1.1 Harta Pusaka Menurut Adat
Minangkabau
1.1.1
Sistem
Pemilikan Harta
Secara
umum, pemilikan harta di Minangkabau bersifat kelompok, dimiliki secara
bersama-sama oleh satu kaum. Pemilikan harta ini diatur dan dipimpin oleh
penghulu kaum yang bersangkutan.
Pembagian harta di Minangkabau seperti
telah disebutkan di atas bahwa sistem pemilikan harta di ranah Minangkabau
bersifat kelompok, yang dimiliki secara bersama-sama di bawah pimpinan penghulu
kaum suku masing-masing.
Di
Minangkabau sistem pemilikan harta terbagi atas empat macam, yaitu :
1) Harta
Pusako
Artinya harta yang dimiliki dan
diwarisi secara turun-temurun oleh satu kaum. Dari mamak turun ke kemanakan dan
berlanjut terus dari generasi ke generasi orang yang sekaum bertali darah.
Harta pusako ini tidak boleh dikurangi atau dijual, jika mampu kita sebagai
penerima waris harus menambah. Harta pusako ini disebut juga harta pusako
tinggi.
2) Harta
tambilang basi
Artinya harta yang di peroleh dari
usaha sendiri, misalnya dengan cara manaruko pertanian baru (membuka lahan
pertanian baru).
3) Harta
tambilang ameh
Artinya harta yang diperoleh
seseorang dengan cara membeli.
4) Harta
hibah
Artinya harta yang diperoleh atas
dasar pemberian. Harta hibah ini terbagi atas :
a) Hibah
laleh
Adalah pemberian
seorang ayah pada anak-anaknya untuk selama-lamanya. Di dalam adat, pemberian
ini dikatakan salamo dunia takambang
salamo gagak hitam. Hibah ini dapat terjadi jika sepakat waris kaum bertali
darah dan waris kaum bertali adat.
b) Hibah
bakeh
Adalah pemberian
harta dari seorang ayah pada anak-anaknya yang sifatnya terbatas selama
anak-anaknya hidup, tidak sampa ke cucunya. Di dalam adat, hibah ini dikatakan kabau mati kubangan tingga, pusako pulang ka
nan punyo.
c) Hibah
pampeh
Adalah pemberian
harta dari ayah kepada anak-anaknya dengan cara ayah menggadaikan kepada
anak-anaknya. Pada umumnya pegang gadai antara ayah dengan anaknya bersifat
akal-akalan si ayah untuk membantu anak-anaknya. Pegang gadai ini biasanya
dengan memakai emas, namun nilainya tidak masuk akal, sehingga kemenakan
ayahnya akan keberatan untuk menebusnya.
1.1.2
Harta
Pusaka Tinggi
Barakik-rakik ka hulu
Baranang-ranang ka
tapian
Basugi timbakau jalo
Basaki-sakik dahulu
Basanang-sanang
kamudian
Barugi mangko balabo
Artinya:
perlu ada ketabahan dalam berusaha karena setiap kesenangan dan kebahagiaan
perlu ada pengorbanan.
Setiap
manusia selagi hidup pasti selalu bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Adakalanya usaha-usaha tersebut berhasil dengan baik, namun tak
jarang juga yang kurang berhasil. Bagi kita orang Minangkabau, hasil usaha/
kerja selalu diusahakan untuk disimpan sebagian sebagai cadangan, baik sebagai
cadangan pada musim paceklik atau untuk pembeli bahan/barang yang diperlukan.
Pepatah adat mengatakan: bakulimek
sabalun abih, ingek-ingek sabalun kanai, maksudnya berhematlah dalam hidup,
tidak boros dan mubazir agar jangan sampai kehabisan perbekalan.
Seperti pantun di bawah ini:
Bapueh-pueh dek mamiliah
Bapayah-payah dek mangapua
Abih
dayo badan talitak
Abih
paham aka baranti
Artinya: berusahalah dengan segala
kemampuan dan tenaga untuk mencari bekal kehidupan. Hasilnya kita serahkan pada
Yang Mahakuasa.
a. Pengertian harta pusako tinggi
Yang
dimaksud dengan harta pusako tinggi adalah harta yang telah diwarisi secara
turun-temurun oleh sebuah kaum. Harta tersebut berupa tanah, sawah, tanah
peladangan, rumah, dan sebagainya. Disamping harta pusako yang berbentuk
seperti penjelasan diatas, di Minangkabau masih ada lagi harta pusako tinggi
kaum yang tidak berwujud/berbentuk, yaitu gelar pusaka. Pusaka ini di sebut
sako.
Asal
usul harta pusako tinggi adalah hasil usaha dan kerja nenek moyang kaum
tersebut dahulu yang dijadikan lahan pertanian, perumahan, dan persawahan.
Jadi dapat disimpulkan harta pusako tinggi ini yang
diwariskan secara turun-temurunberasal dari harta tambilang basi dan tambilang
ameh nenek moyang orang Minangkabau.
b. Hak dalam harta pusako tinggi
Orang Minangkabau menganut sistem garis keturunan
diambil dari pihak ibu/perempuan. Maka yang berhak atas harta pusako tinggi
adalah orang-orang yang segaris keturunan atau disebut juga orang yang sekaum
seketurunan, dengan kata lain pusako tinggi menjadi hak bersama.
Kaum yang menerima waris pusako tinggi, secara
bersama-sama punya kewajiban untuk menjaga, melestarikan, serta mengolah harta
pusako tinggi yang diterima. Sedangkan kewenangan untuk mengatur penggunakan
harta pusako tinggi dipegang oleh kaum wanita yang tertua. Untuk melindungi,
memelihara, dan mengembangkan harta pusako tinggi ini di bawah wewenang mamak
penghulu kaum, dengan alasan sebagai seorang mamak penghulu kaum, dia
didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting oleh kaumnya. Di bawah
pengawasan mamak penghulu kaum dan wanita tertua dalam kaum tersebut,
diharapkan pusako tinggi bermanfaat untuk seluruh anggota kaum mereka. Karena
menurut pituah adat Minangkabau harta pusako tinggi ini berarti kok tajua indak
dimakan bali, gadai indak dimakan sando. Maksudnya, harta pusako tinggi bila
terjual tidak bisa dibeli, digadaikan tidak bisa dijadikan sando karena harta
pusako tinggi menjadi milik bersama.
Nenek moyang kita terkenal dengan sikap yang arif
bijaksana. Dalam membuat undang-undang dan aturan, nenek moyang kita tidak
kaku. Walaupun ada pituah adat yang melarang kita untuk menjual atau
menggadaikan harta pusako, namun ada pengecualikannya. Harta pusako tinggi
dapat juga dijual atau digadaikan jika terjadi empat penyebab, sehingga pihak
kaum penerima waris “terpaksa” menjual atau menggadaikan harto pusako tinggi,
yaitu apabila terjadi :
Maik
tabujua di tangah rumah
Gadih gadang tak balaki
Rumah gadang katirisan
Mambangkik batang tarandam
Artinya
: jika kaum penerima waris ditimpa musibah sedangkan jalan lain untuk mengatasi
musibah itu tidak ada maka dengan kesepakatan seluruh anggota kaum diambillah
keputusan apakah dijual atau cukup digadaikan saja.
c. Fungsi harta pusako tinggi
Pada
uraian terdahulu telah dibahas bahwa harta pusako tinggi yang diwarisi secara
turun-temurun oleh sebuah kaum adalah harta tambilang basi dan tambilang ameh
nenek moyang yang diwariskan pada generasi berikut dalam kaumnya. Maka fungsi
harta pusako tinggi itu sebagai berikut.
1)
Merupakan tali persatuan dan kesatuan
sebuah kaum yang bertali darah
2)
Mengingatkan semua orang akan hubungan
budi yang luhur terhadap nenek moyangnya.
3)
Mampu memberikan contoh pada generasi
berikutnya, untuk selalu memikirkan generasi-generasi yang akan datang.
4)
Sebagai lambang kedudukan sosial suatu
kaum seperti kata pepatah:
Dek ameh sagalo kameh
Dek padi sagalo jadi
Hilang rono dek panyakik
Hilang bangso tak barameh
Artinya: jika
suatu kaum sepesukuan memiliki harta pusaka, maka secara umum warga nagari atau
kampung akan menilai kaum tersebut sebagai kaum yang berpunya dan di segani
orang-orang sekampung atau nagari.
d. Manfaat harta pusako tinggi
Harta pusako tinggi sangat besar manfaatnya bagi
anggota kaum yang mewarisi. Pengelolaan/penggarapan yang telah diatur dan
disepakati bersama, hasilnya dapat membantu kesejahteraan keluarga sekaum.
1.1.3
Harta
Pusaka Rendah
a. Pengertian harta pusako randah
Harta
pusako randah adalah harta pencarian ayah dan ibu kita, yang diberikan kepada
anak-anaknya sebagai harta pencarian ayah dan ibu kita, yang diberikan kepada
anak-anaknya sebagai harta warisan setelah ayah atau ibu meninggal dunia.
b. Contoh harta pusako randah
Harta
pusako randah adalah harta pencarian ayah dan ibu (orang tua), yang diberikan
kepada anak-anaknya sebagai harta warisan setelah ayah atau ibu meninggal
dunia. Contohnya bisa berupa rumah, uang/emas, atau tanah persawahan/ladang.
Pemberian
harta pencarian orang tua kita (ayah/ibu) untuk diwariskan pada anak-anaknya
memakai hukum faraidh (hukum agama). Disebut dengan pusako randah karena harta
tersebut diwarisi dari satu generasi di atas orang yang menerima warisan.
Sedangkan harta pusako tinggi di warisi oleh beberapa generasi di atas yang
menerima warisan. Pewaris asal tidak dikenal lagi dan pewaris disebut sebagai
nenek moyang saja oleh ahli warisnya. Bagi harta pusako tinggi berlaku hukum
adat Minangkabau. Dalam hal penggarapan, harta pusako tinggi menjadi milik
bersama kaum yang bertali darah.
Harta
pusako randah merupakan cikal bakal harta pusako tinggi dan seterusnya,
berkelanjutan turun-temurun diwarisi oleh cucu dan cicit pemilik harta yang
pertama.
1.1.4
Harta
Pencaharian
a. Harta pencarian menurut adat
Minangkabau
Harta
pencarian merupakan harta hasil usaha ayah dan ibu (orang tua), yang nantinya
akan diberikan kepada anak-anaknya sebagai harta warisan setelah ayah dan ibu
meninggal dunia. Harta pencarian bisa berupa rumah atau tanah, uang/emas, atau
tanah persawahan/ladang.
b. Hak dalam harta pencarian
Di
Minangkabau, pembagian harta pencarian orang tua, pada umumnya pihak anak
perempuan akan menerima pembagian lebih besar dari anak laki-laki. Contohnya,
rumah rumah yang didirikan oleh orang tua kita menjadi milik anak perempuan,
pihak laki-laki hanya akan memperoleh pembagian harta dalam bentuk uang/emas
atau tanah persawahan/ladang, besarnya juga tidak sama dengan yang diperoleh
anak perempuan. Bahkan ada kemungkinan anak laki-laki tidak memperoleh
pembagian sama sekali, disebabkan saudara yang perempuan ada dua atau tiga
orang.
Hal ini terjadi dengan alasan sebagai
berikut.
1) Sesuai
dengan hukum matrilineal di mana kaum perempuan sebagai penerus garis
keturunan.
2) Kaum
perempuan, merupakan kaum yang lemah dan harus dilindungi.
3) Kaum
laki-laki adalah orang yang kuat untuk berusaha.
Pemberian
harta pencarian orang tua kita (ayah/ibu) untuk diwariskan pada anak-anaknya
memakai hukum faraidh (hukum agama). Harta pencarian disebut dengan pusako
randah karena harta tersebut diwarisi dari satu generasi diatas orang yang
menerima warisan.
c. Asal usul lahirnya istilah harta
pencarian sebagai berikut.
Pada
awalnya di Minangkabau hanya dikenal harta pusako tinggi, yang merupakan
kekayaan bersama satu kaum. Dengan bertambahnya harta dalam suatu keluarga dari
hasil usaha suami istri/ ayah ibu maka lahirlah istilah harta pencarian.
Selanjutnya harta pencarian ini diberikan sebagai warisan untuk anak-anaknya.
Harta pemberian dari orang tua inilah yang di sebut harta pusako randah.
Pada
abad ke-19 sering timbul konflik antara anak dari ayah dengan kemenakan ayah
untuk memperebutkan harta peninggalan ayah/mamak. Konflik ini sering membawa
akibat buruk bagi kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga akhirnya seorang
ulama terkenal dari koto tuo bernama tuanku nan tuo (1740-1832) mengeluarkan
fatwa yang menyatakan bahwa hasil keringat suami istri dinamakan harta
pencarian. Dengan demikian terjadilah kompromi atau kesepakatan di Minangkabau
dengan adanya dua macam harta, yaitu harta pusaka dan harta pencaria. Menurut
pepatah adat Minangkabau anak di pangku
jo harato, kamanakan di bimbiang jo harato pusako.
1.1.5
Harta
Suarang
a. Harta suarang menurut adat
Minangkabau
Kata
suarang berasal dari kata surang atau seorang. Maksudnya harta suarang berasal
dari harta pencarian seseorang yang dimiliki, baik oleh laki-laki atau
perempuan sebelum mereka kawin/menikah. Maka dengan sendirinya harta pencarian
itu sepenuhnya menjadi milik seseorang dan harta tersebut merupakan harta
bawaan dari masing-masing pihak. Dengan kata lan, harta suarang adalah milik
indivudu/perorangan.
Jika
terjadi perkawinan maka masing-masing pihak (suami/istri) memiliki harta bawaan
yang menjadi milik masing-masing. Sebaliknya jika terjadi perceraian di antara
mereka, harta suarang tidak akan di bagi, dalam hal ini jika suami ingin
membawa harta suarangnya boleh-boleh saja. Kekuasaan dan kepemilikan harta
suarang berada pada tangan pemiliknya masing-masing, namun pada lazimnya harta
suarang ini akan diberikan kepada anak-anaknya.
b. Hak dalam harta suarang
Hak
atas kepemilikan harta suarang ini adalah hak untuk menjual, menggadaikan, dan
memberikan pada orang lain. Harta pencarian suami/istri selama mereka berumah
tangga merupakan harta milik bersama. Oleh sebab itu, dalam adat dikatakan
suarang baragiah, pencarian dibagi. Maksudnya harta suarang dapat diberikan
kepada siapa saja, tetapi harta pencarian harus dibagikan jika terjadi
perceraian.
c. Contoh harta suarang
Contoh
harta suarang berupa tanah/kebun, sawah, tanah perumahan, boleh jadi juga
berupa kendaraan bermotor atau modal usaha berdagang pada saat seseorang belum
berumah tangga. Secara hukum negara harta suarang dilindungi oleh hukum dengan
ada bukti sertifikat hak milik/Akta Hak Milik. Dalam pergaulan berumah tangga
adakalanya pihak suami dan istri saling memberikan harta ini untuk dijadikan
milik bersama.
CATURWULAN
III (TIGA)
1.1 Harta Adat dalam Minangkabau
1.1.1
Sako
menurut adat minangkabau
a. Pengertian sako
Dalam
adat minangkabau, pusaka ada dua macam. Pertama berupa barang sako, kedua harto
pusako.
Harta
pusako adalah segala warisan turun temurun berupa barang yang berwujud, seperti:
1)
Hutan, tanah.
2)
Sawah, ladang.
3)
Rumah gadang dengan rangkiangnya.
4)
Pandam pekuburan.
5)
Balairung, mesjid, dll.
Sedangkan
barang sako adalah warisan turun temurun yang bentuknya tidak berwujud seperti:
1) Suku
2) Adat
3) Gelar
kebesaran penghulu dan pemangku jabatan adat lainnya
4) Pembawaan
hidup
5) Kato-
kato petatah- petitih, dll
Barang sako inilah yang lazim
disebut sako atau disebut juga suku sako.
Dalam
kajian adat alam ,minangkabau, Sako
lebih ditekankan kepada pengertian warisan jabatan yang diterima seseorang
secara turun temurun, berdasarkan garis keturunan ibu. Ini dikenal sebagai
gelar penghulu atau pemangku jabatan adat lainnya. Dalam petitih adat
disebutkan: dari ninik ka mamak, dari
mamak kamanakan ( dari nenek/ moyang ke mamak, dari mamak kemanakan). Jadi,
sako dan pusako menurut adat minangkabau diwariskan kepada kemenakan.
Sako
hanyalah warisan jabatan yang diterima secara turun menurun, berdasarkan garis
keturunan ibu. Sedangkan pusako adalah warisan harta benda yang terwujud.
Untuk
lebih memahami pengertian sako, berikut ini dijelaskan beberapa contoh
pemakaian kata sako dalam kehidupan sehari- hari di minangkabau. Misalnya tiang sako. Tiang sako adalah tiang
yang terdapat pada rumah adat minangkabau. Tiang sako dalam rumah adat,
merupakan tiang terpenting di antara tiang- tiang rumah adatminangkabau
lainnya. Tiang sako ini sering juga disebut sebagai tunggak tuo. Di mesjid disebut sebgai tiang merdu. Dalam rumah adat jawa juga dikenal dengan tiang sako guru.
Kata
sako lainnya adalah karambia sako.
Dalam kehidupan orang minangkabau, karambia sako artinya pohon kelapa yang
mula- mula sekali ditanam.
Dengan
demikian, sako dapat diartikan sebagai mula- mula atau yang paling utama.
Dalam
kehidupan orang minangkabau, yang dimaksut dengan sako adalah harta, maka sako
dapat diartikan sebagai harta yang telah ada secara trun temurun dari garis
ketrunan ibu. Harta yang dimaksud adalah warisan harta tidak berwujud, yang
merupakan tiang utama dalam menegakkan kehidupan sebah kaum.
Kedudukan
sako dalam kehidupan orang minangkabau sangat penting. Hal ini tercermin dari
kat- kata adat yang mengatakan bahwa sebagai orang minangkabau harus basuku-
basako ( memiliki suku dan memiliki sako). Artinya, jika ia hanya mempunyai
suku tetapi tidak mempunyai sako, belumlah sempurna orang tersebut sebagai
orang minangkabau.
Ketentuan
tentang sako dapat dilihat dari kata- kata adat “pusako dipusakoi, sako disakoi”.
Pusako dipusakoi, artinya mewarisi
harta yang berupa benda bagi sebuah kaum.
Sako disakoi, mewarisi nama adat suku
adat istiadat, gelar kebesaran penghulu dan pemangku jabatan adat lainnya,
pembawaan hidup, kato- kato petatah- petitih, dll, yang diterima secara turun
temurun menurut garis keturunan ibu.
b. Contoh sako di minangkabau
1) Suku
Suku
adalah sako (warisan yang tidak beruwujud), yang pertama sekali bisa diterima
oleh setiap orang minangkabau secara turun temurun menurut garis keturunan ibu.
Bila
seorang anak lahir, ia langsung menerima warisan nama suku. Nama suku yang
diterimanya adalah suku yang dimiliki kaum ibunya. Inilah inti dari aturan
matrilineal. Nama suku di minangkabau pada mulanya ada empat: Koto, Piliang, Bodi,
Caniago.
Apabila
seorang ibu mempunyai suku koto, maka anak yang lahir dari rahimnya otomatis
mewarisi nama suku koto. Jika ibu memiliki suku piliang, maka otomatis anak
yang dilahirkan akan mewarisi nama suku piliang. Begitu pula bila ibu yang
melahirkan memiliki suku bodi atau caniago, maka anak yang dilahirkan akan
mewarisi suku bodi atau caniago pula.
Oleh
karena masyarakat minangkabau terus berkembang, maka suku- suku yang adapun
ikut berkembang. Hal ini bisa disebabkan karna perpindahan penduduk atau karena
bertambah banyaknya jumlah anggota sebuah kaum. Akibat perkembangan ini, maka
didirikan suku- suku baru.
Perkembanangan
ini sesuai dengan ketentuan adat minangkabau yang berbunyi:
a) Baju
sahalai dibagi duo (baju sehelai dibagi dua)
Artinya,
mengangkat penghulu baru karena warganya telah sangat berkembang. Untuk itu
diperlukan seorang penghulu lain disamping penghulu yang telah ada,
agarwarganya mendapatkan bimbingan yang lebih merata.
b) Mangguntiang
siba baju (menggntingan belahan baju)
Artinya,
mendirikan penghulu baru karena terjadi persengketaan yang tidak dapat
didamaikan antara dua atau beberapa kaum lainnya dalam menetapkan calon yang
berhak sebagai pengganti penghulu yang lama yang tidak berfungsi lagi. Dalam
pembelahan ini, suatu suku dibelah menjadi dua atau beberapa kaum, yang masing-
masing ingin mempunyai penghulu sendiri atau pimpinan sendiri.
c) Gadang
menyimpang (besar menyimpang)
Meskipun
saat ini terdapat banyak suku minangkabau, namun semua suku itu tetap merupakan
satu kesatuan berdasarkan empat suku yang mula- mula. Artinya, suku- suku yang
didirikan kemudian tetap punya hubungan dengan empat suku yang mula- mula,
yaitu suku koto, piliang, bodi, caniago.
2) Adat
Adat
yaitu warisan tidak berwujud yang erat kaitannya dengan pewarisan sebuah suku.
Adat adalah suatu aturan yang telah menjadi kebiasaan dan lazim serta
mengandung akibat. Adat biasa juga disebut hukum.
Dalam
kehidupan suku- suku di minangkabau adat terbagi kedalam dua lingkungan. Pertama,
lingkungan adat datuk katumanggungan,
yaitu adat yang diwarisi oleh kaum yang memiliki suku koto dan piliang beserta
belahan- belahannya. Kedua, lingkungan
adat datauak perpatiah nan sabatang, yaitu adat yang diwarisi oleh kaum
yang memiliki suku bodi dan caniago beserta belahan- belahannya.
Dalam
hal ini jika seseorang ibu dari suku koto melahirkan seorang anaknya akan
memiliki suku koto dan ia juga akan mewarisi adat dari lingkungan datuak
katumanggungan . begitu pula bila seorang ibu yang memiliki suku caniago
melahirkan seorang anak, maka anaknya akan memilki suku caniago dan ia akan mewarisi
adat dari lingkungan adat datuak parpatih nan sabatang.
3) Penghulu
Penghulu
merupakan andiko bagi kaumnya, yaitu menjadi pemimpin dari kaumnya. Penghulu
berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Ia berperan sebagai pemimpin , sebagai
hakim, dan pendamai di dalam kaumnya. Artinya seorang penghulu wajib mengurusi
segala hal yang berhubungan dengan kepentingan, kesejahteraan, dan keselamatan
kemenakannya.
Seorang
penghulu di minangkabau, sehari- hari biasa di panggil datuak. Oleh karena di
minangkabau terdapat banyak penghulu maka masing- masing penghulu diberi nama.
Nama diwarisi secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Inilah yang
dimaksud dengan sako datuak. Contoh sako yang merupakan nama/ gelar kebesaran
penghulu di minangkabau adalah sederetan nama penghulu, seperti datuak indomo,
datuak bandaharo, datuak sinaro, datuak makhudum, datuak sri dirajo, datuak
parpatiah, dll.
Disamping
penghulu, ada jabatan adat lain yaitu: para pembantu dari seorang penghulu,
seperti:
a) Manti
Manti
adalah orang yang bertugas menyampaikan segala perintah penghulu kepada anak
buahnya (anggota kaum) ataupun untuk menyampaikan segala perasaan, pandangan,
dan pikiran dari anggota kaum kepada penghulu. Manti juga bertugas memeriksa
perkara dan menyampaikan keputusan penghulu kepada yang berpekara. Di beberapa
daerah, manti juga sering disebut imam.
b) Malin
Malin
adalah orang yang menyelenggarakan segala sesuatu dalam masyarakat minangkabau,
yang berhubungan dengan agama. Misalnya, nikah, talak, rujuk, kelahiran,
kematian, zakat, fitrah, dll. Malin juga bertugas menjadi suatu perkara bila
dianggap perlu. Jika dua orang berperkara perlu di sumpah, maka pengambilan
sumpah ini dilakukan oleh malin. Malin di beberapa daerah sering juga disebut
khatib.
c) Dubalang
Dubalang
adalah orang yang menjaga keamanan kaum dan menjaga agar setiap keputusan
penghulu dapat dilaksanakan oleh anggota kaum. Ia yang menakik mana yang keras.
Artinya, berbuat dengan segala daya dan upaya untuk menegakkan kebenaran. Dubalang
harus tahu dimana “ranjau nan lah lapuak, parik nan lah runtuah” ( ranjau yang
telah lapuk, parit yang telah runtuh), yang patut dinaikkan. Artinya, seorang
dubalang harus tanggap dengan segala situasi dan kondisi anggota kaumnya.
Sako (gelar pusako)
mempunyai empat macam sifat:
a) Dipakai
Dipakai
artinya, gelar sako yang ditinggal mamak akan dipakai kembali.
Cara
pengangkatan sako adalah sebagai berikut:
1) Baniah
Menentukian
calon penghulu baru ditunjukkan oleh geleran yang patut memakai gelar penghulu.
2) Dituah
cilakoi
Artinya,
diperbincangkan buruk baiknya dalam kandung kecil (dalam rapat terbatas) suatu
rapatyang dihadiri oleh lelaki dan wanita dalam gelaran itu. Keputsan rapat di
bawa ke dalam rapat saparuik (rapat yang lebih besar). Disini, dituah cilakoi,
diperbincangkan buruk baiknya sekali lagi, disesuaikan sifat- sifatnya dengan
sifat- sifat yang patut dipakai oleh seorang penghulu. Mufakat yang diambil ini
adalah agar tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Jika semua telah
sepakat, tidak akan timbul perkataan- perkataan sumbang di kemudian hari,
barulah diteruskan pada proses berikutnya.
3) Penyerahan
banlah
Setelah dapat
kata sepakat pada rapat saparuik, laku diundang penghulu- penghulu yang
setungku, penghulu yang patut hadir untuk menerima penyerahan baniah. Baniah,
maksutnya calon yang akan memegang jabatan penghulu atau calon penghulu. Dalam
rapat itu, diberi kesempatan kepada anak piank, andan dan pasumandan untuk ikut
hadir, tetapi hanya sebagai peninjau saja. Ini dimaksudkan agar mereka dapat
mengenal calon pemimpin mereka dari dekat. Proses ini disebut dengan bajanjang
naiak batanggo turun (berjenjang naik dan bertangga turun). Hasil mufakat dari
waris di lingkungan cupak adat, diteruskan ke pesukuan. Apakah keputusan ini
dipandang telah tepat. Bila dipandang telah tepat, pesukuan akan menyetujuinya.
Persetujuan ini kemudian di teruskan ke kerapatan adat nagari.
4) Manakokari
Setelah
kerapatan penghulu setungku, dibuatlah janji, kapan secara peresmian pemakaian
sako akan dilangsungkan. Mulai saat ini, tugas dibagi dengan anak kemenakan,
sesuai dengan kepatutannya.
Meskipun banlah
sudah ditunjukkan oleh kaum yang menanam atau mengangkatnya adalah nagari.
Kerapatan adat nagari akan memberikan penilaian pula. Kerapatan adat nagari
hanya bertugas memeriksa apakah pemilihan telah melewati prosedur adat dan
melengkapi ketentuan yang berlaku dalam adat minangkabau. Kerapatan adat nagari
tidak berhak memberikan keputusan, menolak atau menerima. Jika ada sesuatu yang
kurang tepat menurut adat, kerapatan adat nagari hanya meminta kepada persukuan
untuk meninjau kembali, agar segalanya dapat diletakkan pada tempatnya.
Selanjutnya,
bila semuanya telah lengkap, kerapatan adat nagari akan memberi persetujuan
melaksanakan peresmian pengangkatan sako. Setelah disetujui, sako dapat dipakai
oleh pewarisnya dengan melaksanakan acara batagak penghulu.
5) Pelaksanaan
upacara batagak gala
Upacara batagak
gala atau peresmian pemakaian sako biasanya dengan melakukan perhelatan besar.
Dalam perhelatan ini sengaja dipotong kerbau kemudian disediakan beras seratus
gantang, kuah dikacau, daging dilapah (kuah dikacau, daging dimakan) sesuai
dengan ketentuan adat:
Berdiri penghulu
Dengan menjamu
anak nagari
Laki- laki dan
perempuan
Berdiri raja
Menjamu
ditigaluhaknya
Dalam
kebisaanya, upacara adat “batagak gala” dimeriahkan oleh bunyi- bunyian adat.
Bunyi- bunyian adat ini terutama “nobat” atau gendang penobatan agung,
talempong, serta letusan bedil setenggal.
b) Dilipek
Dilipek artinya,
gelar sako yang ditinggalkan mamak belum dapat dipakai atau diresmikan
penggantinya. Sifat sako yang seperti ini muncul apabila seorang penghulu
meninggal dunia, gelar kepenghuluannya belum bisa dipakai oleh yang berhak
mewarisinya.
Dalam keadaan
seperti ini, kerapatan adat nagari mempunyai hak untuk menuntut kepada ahli
waris atau kepada penghulu yang bertali adat agar sako ditegakkan kembali.
Ternyata, setelah diadakan mufakat oleh ahli waris, belum di dapat kesepakatan
siapa yang akan mewarisi. Oleh karena tidak ada kesepakatan maka adat
menetapkan bahwa sako tersebut “dilipek” sampai ada kesepakatan. Artinya, belum
bisa dipakai sebelum ditemukan kata sepakat.
Untuk malipek
sako, biasanya nagari akan menjatuhkan denda sebagai uang pelipatnya kepada
ahli waris. Hal ini dimaksudkan agar ahli waris yang bersangkutan dapat
menyadari pentingnya kata sepakat dalam pengangkatan dan menegakkan sako.
c) Tataruah
Tataruah,
artinya tidak ada ahli waris yang akan menerima sako. Ini terjadi karena putus
pewaris laki- laki yang bertali darah, namun masih ada pewaris perempuan.
Selama tidak ada laki- laki yang bertali darah di dalam kaum tersebut, maka
sako tataruah dulu sampai ada pewarisnya.
Apabila
di kemudian hari laki- laki yang lahir dari perempuan yang bertali darah, maka
sako dipakai kembali. Hal ini dinamakan “mambangkik batang tarandam”
(membangkit batang terandam).
d) Tabanam
Tabanam, artinya
sako tidak dipakai lagi. Hal ini terjadi karena seorang penghulu meninggal
dunia dan tidak ada lagi ahli waris yang bertali darah. Ini sering juga disebut
“punah”.
Dalam
kata- kata adat disebutkan”
Dihanyuikkan
ka aia dareh
Dibuang katanah
lakang
Salamo bumi
takambang
Nan gelar tidak
bapakai lai
Bahasa
indonesianya:
Dihanyutkan ke
air deras
Dibuang ketanah
lekang
Selama bumi
berkembang
Yang gelar tidak
dipakai lagi
4) Pembawaan
hidup kato- kato petatah- petitih, dan lain- lain
Sako
berikutnya adalah pembawaan hidup serta kata- kata petatah dan petitih. Sako
adalah warisan tak berwujud yang menjadi pemimbing tingkah laku tentang dalam
bentuk kata- kata.
Pembawaan
hidup serta kata petatah dan petitih yang diwarisi lebih mencerminkan adat yang
dipakai, yaitu dari lingkungan adat masing- masing kaum.
c. Fungsi sako dalam adat minangkabau
Penghulu
adalah andiko dari sebuah kaum. Artinya, ia adalah pemimpin bagi kemenakannya.
Penghulu berfungsi sebagai kepala pemerintahan, karena itu sako dalam adat
minangkabau berfungsi sebagai lambang kebesaran kaum, sebagai lambang
dipakailah sebuah nama julukan untuk sebuah sako.
Sako
juga berfungsi sebagai identitas anggota kaum dalam pergaulan ditengah- tengah
masyarakat. Dengan mengenal nama sako, orang mengerti darimana asal seseorang.
Ia anak bah dari penghulu mana, dan memakai kelarasan adat mana. Dengan
demikian tatanan hidup orang minangkabau menjadi terang.
Sako
juga membantu anggota kaum bila hendak berhubungan dengan anggota masyarakat
lain. Apalagi bagia anggota kaum yang suka berpergian. Pergi berdagang
misalnya. Bila ia hendak pergi kesuat daerah didalam kawasan minangkabau. Ia
dapat menemui penghulu yang mempunyai sako yang sama dengan dirinya.
Jika
seorang anak minangkabau mengalami masalah di tempat lain. Dengan mengenal sako
yang ada di tempat itu, ia bisa mengadukan permaslahannya kepada orang yang
tepat. Apalagi seorang penyandang sako, penghulu, berperan sebagai pemimpin,
sebagai hakim, dan pendamai didalam kaumnya. Ia juga jadi jaksa, dan penjadi
pembela dalam setiap perkara yang dihadapi kaumnya. Artinya, seorang penghulu
wajib mengurus segala hal yang berhubungan dengan kepentingan, kesejahteraan,
dan keselamatan kemenakannya. Kemenakan tersebut masuk juga orang dari daerah
lain yang satu suku dengan dirinya.
1.1.2
Sang
Sako menurut adat minangkabau
a. Sang sako menurut adat minangkabau
Sang
sako menurut adat minangkabau merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada
seseorang, baik yang telah mempunyai gelar Datuk atau pun pada seseorang yang
telah berjasa dan telah berbuat banyak kebaikan bagi nagari Minangkabau atau
Kerapatan Adat Nagari ini. Gelar kehormatan sang sako diberikan pada seseorang,
namun tidak diwariskan kepada pewarisnya (tidak secara turun-temurun).
Gelar
sang sako dapat berpindah kepada orang lain sesuai dengan mufakat bersama
penghulu-penghulu nagari untuk diberikan kepada orang lain yang lebih pantas
untuk memakainya. Hal ini tidak terlepas dari kaidah mungkin serta patut.
Maksud
dari kaidah mungkin serta patut:
Mungkinlah orang ini diberi gelar
kehormatan atas jasa-jasanya terhadap nagari dan masyarakat atau sebaliknya,
gelar kehormatan itu mungkin dipindah kepada yang lain karena si pemakai sudah
tidak pantas untuk membawanya.
Patut atau pantaskah orang ini
menyandang gelar tambahan sesuai dengan jasa-jasanya kepada nagari dan
masayarakat.
b. Pengertian sako
Sang
sako adalah ketentuan menerima gelar jabatan di dalam adat. Dalam adat
minangkabau lazim disebut dengan ketentuan pakai memakai gelar adat. Gelar
adat, misalnya gelar penghulu, khatib adat, dubalang adat, manti adat dan
sebgainya. Gelar umumnya dimiliki oleh pihak laki- laki. Ketentuan adat
minangkabau tentang hal ini adalah sebagai berikut:
Pusako
dipusakoi. Artinya, pewarisan harta bagi sebuah kaum di miangkabau. Sako
disakoi. Artinya, pewarisan gelar adat bagi sebuah kaum yang diterima turun
menurun menurut garis keturunan ibu. Sang sako pakai memakai. Artinya, tata
cara pemindahan warisan gelar adat boleh berpindah atas kata sepakat, tetapi
masih dalam lingkaran alur dan patut.
c. Contoh sang sako di minangkabau
Sang
sako di minangkabau merupakan warisan kaum. Umumnya mengenal gelar warisan,
kepemimpinan adat dan gelar dalam pergaulan sehari- hari. Gelar dari suku asal,
seperti suku koto, piliang, bodi, caniago, dan beberapa suku lainnya. Umunya
memakai kata- kata yang berasal dari bahasa sansekerta.
Bahasa
sansekerta adalah bahasa sansekerta dalam lafal minangkabau. Misalnya, marajo
dari kata maharajo, indo dari kata indera, mangkuto dari kata mahkota, sinaro
dari kata sunaria, cmano dari kata laksamana, smapono dari kata sampurna, dan
lain- lain.
Sang
sako dapat digolongkan menjadi dua bagian. Sang sako yang menyangkut gelar adat
untuk penghulu serta gelar untuk masyarakat adat.
1)
Sang sako datuak dan gelar penghulu
Gelar
ini dipakai diwal gelar warisan seseorang yang menjadi penghulu. Misalnya
datuak Marajo. Datuak Indo. Datuak Naro. Datuak Sampono dll.
Gelar
warisan seorang penghulu dapat menunjukkan identitas dalam masyarakat adat.
Kalau gelar seorang penghulu merupakan gelar tungga. Seperti datuak Marajo,
datuak Naro, datuak Indo, datuak Sampono ia adalah penghulu andiko di
negerinya. Bila suku datuak marajo bisa mencari daerah lain, dan di daerah
trsebut ia menjadi penghulu andiko, gelar kepenghuluannya lazim dijadikan gelar
dengan kata- kata tunggal. Dan ia adalah suku datuak Marajo.
Selanjutnya
bila suku diatas membelah diri lagi untuk yang kedua kalinya biasanya pada
gelar warisan ditambahkan kata- kata sisipan. Misalnya, datuak Marajo nan basa,
datuak Naro nan daleh, dll. Apabila suku dari datuak Marajo Basa kembali
membelah diri, maka gelar warisannya dapat menjadi datuak marajo basa nan
kuninang.
Dalam
kehidupan masyarakat minangkabau gelar datuak tidak hanya diperuntukkan bagi
penghulu saja. Ada pula gelar datuak yang diberikan kepada orang yang bukan
penghulu. Hal ini banyak terjadi di masa penjajajahan belanda. Gelar datuak
sering diberikan kepada orang yang dihormati. Baik karena jasanya atau karena
jabatannya. Ada juga yang memakai gelar datuak untuk sekedar gagah- gagahan
saja.
2)
Sang sako orang kebanyakan
Di
minangkabau orang sering dipanggil gelarnya bukan namanya. Hal ini didasarkan
pada mamangan yang berbunyi: ketek banamo, gadang bagala (kecil bernama, besar
bergelar). Artinya, nama hanya dipanggilkan sewaktu seseorang masih kecil. Bila
ia telah besar, ia akan diberi gelar, dan gelar itulah yang akan dipanggilkan
selanjutnya. Gelar ini biasanya diberikan sewaktu acara pernikahan.
Gelar
itu misalnya, Sutan, seperti Sutan Sinaro, Sutan malenggang, Sutan Sampono,
dll. Sutan berasal dari bahas sansekerta. Su dan tan. Su artinya baik dan tan
berarti tuan. Sutan artinya tuan yang baik. Gelar- gelar ini ada juga yang
memperlihatkan posisinya ditengah- tengah masyarakat, terutama fungsi
keagamaan. Misalnya gelar yang diawali dengan kata kari, katik, tuanku, malin,
imam dan sebaginya. Contoh kari marajo, katik batuah, tuanku mancayo, malin
gadang dan imam marajo.
Dirantau
pesisir, seperti rantau tiku pariaman dan sekitarnya, lazim memakai gelar
dengan sutan, bagindo, dan sidi, yang dicantumkan diawal namanya. Misalnya
sutan fadillah bagi yang bernama fadillah, bagindo fahmi bagi yang bernama
fahmi, sidi bachyul bagi yang bernama bachyul, dll.
Pemakaian
gelar sutan, bagindo dan sidi di rantau tiku pariaman, menunjukkan identitas
keturunan ayahnya. Sutan menunjukkan ayahnya berasal dari luhak nan tigo.
Bagindo menunjukkan ayahnya berasal dari keturunan bangsawan pagaruyung, dan
sidi menunjukkan ayahnya turunan prajurit aceh.
Di
daerah padang dan sekitarnya, umumnya memakai gelar sutan dan marah, diawal
namanya. Misalnya sutan efendi bagio yang bernama efendi. Marah rusli bagi yang
bernama rusli. Gelar sutan di daerah padang diberikan pada anak yang lahir dari
perkawinan seorang laki- laki turunan bangsawan dengan perempuan yang juga
turunan bangsawan. Anak laki- laki bangsawan dan seorang perempuan dari
kalangan biasa juga diberi gelar sutan. Gelar marah diberikan kepada seorang
yang lahir dari laki- laki biasa yang kawin dengan perempuan bangsawan. Marah
berasal dari bahasa aceh, yaitu meurah, artinya raja kecil.
Di
luhak agam, panggilan sutan diberikan untuk memanggil laki- laki yang masih
muda, laki- laki yang belum punya cucu dianggap masih muda, jadi masih
dipanggil sutan. Bila ia telah punya cucu, maka dianggap telah tua, dan dia
tidak lagi di panggil sutan, tetapi dipanggil angku. Bila semula ia bergelar
sutan sutan mancayo, maka setelah punya cucu ia dipanggil angku mancayo. Bila
semula ia dipanggil sutan batuah, maka setelah tua ia dipanggil angku batuah.
Cara
memanggil gelar ini tergantung pada usia orang yang memanggilnya. Bila usianya
lebih tua dari orang yang akan dipanggil, biasanya ia akan memanggil gelar
awalnya saja, seperti sutan, bagindo, sidi, marah, dll. Bila usianya sama
besar, amak yang disebutkan adalah ujung gelarnya saja. Seperti memanggil rajo
angek kepada sutan rajo angek. Sebutan gelar seacar lengkap biasanya hanya
dilakukan dalam acara- acara yang bersifat resmi.
1.1.3
Harta
Warisan
a. Harta warisan menurut adat alam
mingakabau
Harta
warisan menurut adat minangkabau adalah warisan yang diturunkan dari mamak
kepada kemenakan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ibu.
Masalah
warisan menurut ketentuan adat alam minangkabau diwariskan menurut hubungan
pertalian darah. Dalam hal ini, baik cara mewariskan atau dalam pewarisan
didasarkan pada kedudukan hubungan seseorang berdasarkan pertalian darah.
b. Contoh harta warisan menurut adat
alam minangkabau
Harta
warisan menurut adat minangkabau adalah yang digunakan dari mamak kepada
kemenakan secara trun temurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta warisan
terdiri dari sako dan pusako. Sako adalah gelar atau jabatan penghulu dalam
kaum. Pusako adalah berupa harta benda seperti sawah, ladang, rumah gadang,
atau emas perak, peninggalan dari nenek moyang.
Adapun jenis warisan menurt adat
minangkabauada dua macam:
1)
Warisan nasab
Warisan
nasab disebut juga sebagai warisan pangkat. Pewarisan harta benda kepada
ketrunan yang bertali darah menurut garis keturunan ibu.
Maksudnya warisan itu harus
diterima oleh orang yang benar- benar berhak untuk menerinya. Warisan
nasab dapat dibedakan menjadi dua macam:
a)
Warisan nan salurih (pewaris yang
selurus)
Selurus artinya
selurus keatas dan selurus kebawah sesuai dengan ranji. Jadi, saluruih bukan
berarti seluruh tetapi berarti lurus. Lurus keatas dan lurus kebawah. Selurus
ke atas sebanyak empat keturunan dan selurus kebawah emapat keturunan pula.
Jadi, waris nan saluruih ada sebanyak delapan keturunan. Waris nan saluruih
dikenal juga dengan waris batali darah (waris berdasarkan pertalian darah). Sebagai
pedoman dalam menetapkan warisan ini dalah berdasarkan ranji yang benar- benar
dapat dipercaya. Lebih dari empat keturunan ke atas telah susah untuk
menelusuri dan membuktikan kebenarannya.
Contoh:
Ada
empat orang bersaudara. Tiga orang perempuan bernama Aminah, Kamariah, dan
Marliana, serta seorang laki- laki bernama Marjohan. Sako mereka adalah Dt.
Bagindo Sutan. Oleh karena Marjohan yang laki- laki, maka yang berhak memakai
sako (gelar) Dt. Bagindo Sutan adalah Marjohan. Nama lengkapnya menjadi
Marjohan Dt. Bagindo Sutan .
Ketiga
perempuan saudara Marjohan beranak, bercucu, dan bercicit. Anak, cucu, dan
cicit mereka terdiri dari sejumlah laki- laki dan perempuan pula. Yang berhak
memakai gelar Dt. Bagindo Sutan haruslah anak, cucu, dan cicit yang laki- laki
berasal dari ketiga saudara perempuan Marjohan Dt. Bagindo Sutan.
Selain
dari anak, cucu, dan cicit dari Aminah, Kamariah, dan Marliana tidak berhak
memakai sako Dt. Bagindo Sutan. Gelar penghulu mereka tidak dapat dipakai oleh
orang lain. Inilah yang disebut “sako disakoi, sako dipusakoi”. Artinya gelar
pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipakai.
Bila keturunan
ini pnah, yang dapat berpindah tangan hanyalah harta pusaka, gelar pusaka tidak
dapat berpindah tangan. Ini disebu “sako tatap, pusakko baranjak”. Gelar tidak
dapat berpindah dari keturunan yang asli kecuali harta pusakanya.
b) Waris
nan kabullah (pewaris yang akan boleh mendapat warisan)
Waris nan kabullah dicontohkan
sebagai berikut:
Kita
misalkan kepada empat bersaudara diatas. Tiga perempuan yang beranama Aminah,
Kamariah, dan Marliana serta seorang laki- laki bernama Marjohan. Sako yang
mereka miliki adalah Dt. Bagindo Sutan. Oleh karena suatu sebab, slaah seorang
perempuan itu pindah ke nagari lain. Misalkan perempuan itu adalah Marliana.
Setelah
Marliana pindah, di nagari yang baru ia beranak bercucu pula. Antara Marliana
dan saudara- saudaranya disebut berbeda nagari, tetapi dari cupak yang sama,
yaitu cupak Dt. Bagindo Sutan. Oleh sebab itu, ketrunan dari Marliana dinamakan
“waris nan kabullah”.
Sebagai
waris nan kabullah, keturunan Marliana dapat mewaris sako dan kaumnya. Yaitu
gelar Dt. Bagindo Sutan serta dapat memakai harta pusako yang dimilki kaumnya.
Waris
nan kabullah juga boleh mendirikan sako yang lama, yaitu Dt. Bagindo Sutan.
Karena keturunan ini telah mempunyai sayarat nagari. Sako atau gelar pusaka dan
harta pusaka kedua lingkungan ini boleh dipakai timbal balik. Tanpa memindahkan
pusaka dari satu nagari ke nagari lain. Hal ini memang diatur oleh kaum adat
minangkabau.
Hubungan
waris nan kabullah disebt juga dengan waris batali aia (warisan berdasarkan
air). Istilah aia (air) pada warisan berdasarkan air, maksudnya adalah
menunjukkan bahwa air walaupun dicencang atau dipotong, ia tidak akan putus.
2)
Warisan sebab
Warisan
sebab dikenal juga sebagai waris badan. Waris ini dapat dibedakan ke dalam
empat macam:
a) Waris
batali adat
Waris
batali adat adalah waris yang disebabkan berhubungan secara adat. Jadi, dalam
hal ini, tidak ada berhubungan darah atau berhubungan keturunan.
b) Waris
batali buek
Waris
batali buek, terjadi bila seseorang yang ingin mewariskan harta pusaka kepada
orang yang bukan bertali darah menurut garis ibu. Seperti ketentuan adat
minangkabau. Misalnya, seorang ayah kandung yang ingin mewariskan harta kepda
anak kandungnya.
c) Waris
batali budi
Waris
batali budi adalah suatu pewarisan kepada seseorang karena hubungan budi.
Diantara kedua belah pihak tidak ada pertalian darah. Seseorang bisa berhak
mewarisi sesuatu karena ada suatu ikatan budi dengan yang meninggal. Ikatan
budi ini bisa berupa hubungan baik dalam pergaulan, hubungan tingkah laku, dan
sebagainya.
d) Waris
batali ameh
Waris
batali ameh merupakan waris yang juga tidak didasarkan atas dasar pertalian
darah. Mislanya, seseorang yang ingin mewariskan harta bendanya kepada
pendatang yang telah dianggap sebagai kemenakan sendiri. Oleh karena ia
dianggap sebagai kemenakan, maka ia diberi hak atas pusaka.